Kelompok pengelola perhutanan sosial yang berada di area penyangga kawasan lanskap Taman Nasional Bukit Duabelas menandatangani komitmen bersama untuk penguatan tata kelola perhutanan sosial. Komitmen tersebut disepakati oleh LPHD Rimbo Pusako Batang Terab Desa Jelutih, LPHD Ibul Bajurai Desa Olak Besar, LPHD Pusako Serengam Tinggi dan HTR Koperasi Serengam Bertuah Desa Hajran. Nota kesepahaman ini, juga ditandatangani oleh pemerintah Desa Hajran, pemerintah Desa Olak Besar, dan pemerintah Desa Jelutih Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.
“Ada 5 muatan nota komitmen kesepahaman yang disepakati,”kata Asrul Aziz Sigalingging Koordinator Program KKI Warsi selaku pendamping pengelolaan Perhutanan Sosial. Pertama menurutnya adalah mengembangan usaha, peningkatan kapasitas dan penguatan kelembagaan bersama. Kedua, mendorong dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Batanghari dalam pengembangan perhutanan sosial di Kabupaten Batanghari khususnya di Kluster Batin XXIV. Ketiga, melakukan upaya pencegahan deforestasi, perlindungan keanekaragaman hayati dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Keempat, melindungi areal izin perhutanan sosial dengan mencegah masuknya perusahaan-perusahaan hutan tanaman industri (HTI) maupun perusahaan perkebunan (HGU) yang melakukan ekspansi area dengan cara mengambil alih maupun memanfaatkan areal perhutanan sosial. Kelima, membentuk wadah komunikasi dan koordinasi antar kelompok pengelola area izin perhutanan sosial dan para pihak di wilayah penyangga TNBD kluster Batin XXIV yang dinamai Forum Komunikasi Bersama Lanskap Batin XXIV.
Dikatakan Asrul Aziz latar belakang lahirnya inisiatif kelompok masyarakat pengelola perhutanan sosial di kluster Batin XXIV untuk saling bersinergi menguatkan peran dan partisipasi bersama dalam rangka penguatan tata kelola area izin perhutanan sosial yang berada di wilayah penyangga Taman Nasional Bukit Dua Belas itu. “Selain itu juga karena keempat izin perhutanan sosial itu memiliki keterhubungan topografi kawasan, yang berada dalam satu hamparan lanskap (kluster) di bentang alam kawasan konservasi tepatnya di wilayah timur penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD),”kata Asrul.
Disisi lain kata Asrul Aziz, izin-izin perhutanan sosial di lanskap ini juga dikepung berbagai konsesi perusahaan Hutan Tanaman Industri dan industri perkebunan. Letaknya yang strategis menjadikan keberadaan empat area izin perhutanan sosial ini menjadi sangat penting untuk dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian kawasan. “Karena konektivitas topografi demikian, pada kenyataannya masyarakat pengelola izin perhutanan sosial ini di tiga desa ini juga memiliki keterhubungan sosial dimana satu sama lain masyarakat berinteraksi secara sosial, budaya dan ekonomi dalam kehidupan sehari-sehari, hal penting lainnya yang menjadi pertimbangan bagi kelompok pengelola perhutanan sosial,”kata Asrul Azis.
Menurut Asrul Aziz pada kenyataannya Hutan Desa Jelutih, Olak Besar, dan Hutan Desa Hajran, ketiga hutan desa tersebut merupakan satu-satunya izin perhutanan sosial skema Hutan Desa yang berada di Kabupaten Batanghari dan satu-satunya pula izin perhutanan sosial skema Hutan Desa yang berada persis di wilayah penyangga kawasan konservasi Taman Nasional Bukit Dua Belas.
“Ini mengartikan tantangan sosial, ekonomi dan ekologinya juga menjadi sama persis. Begitu juga dengan upaya pemecahannya. Apakah itu ancaman deforestasi atau perambahan, ekspansi HTI, karhutla, perlindungan satwa dan keanekaragaman hayati, maupun upaya peningkatan mata pencaharian berkelanjutan. Untuk itu, kerjasama sinergi dan kolaborasi dengan berbagai pihak ini menjadi penting untuk memecahkan ragam tantangan dan upaya penguatan tata kelola perhutanan sosial di penyangga kawasan konservasi TNBD ini. Apakah itu dalam sektor pengembangan usaha, perlindungan kawasan, maupun penguatan kelembagaan. Maka tidak heran bila kemudian dalam dokumen Rencana Kelola Perhutanan Sosial yang disusun masing masing komunitas umumnya terdapat kegiatan yang saling bersesuaian satu sama lain yang mencakup kegiatan pengembangan usaha, peningkatan kapasitas dan kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan tadi. Maka sinergi dan kerjasama ini memang menjadi sangat penting bukan hanya antar pemegang izin perhutanan sosial atau antar pemerintah di tiga desa, tapi juga dengan semua unsur termasuk Balai TNBD, KPHP, termasuk masyarakat adat Orang Rimba yang hidup di kawasan lanskap TNBD” terang Aziz.
Untuk menguatkan pengelolaan perhutanan sosial di lanskap ini, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mengadakan pelatihan patroli dan pemantauan ekosistem hutan partisipatif kepada 4 (empat) kelompok pengelola izin perhutanan di kluster Batin XXIV selama 2 hari (2-3/3). Pelatihan ini bertujuan menguatkan peran dan partisipasi masyarakat sebagai subjek utama dalam melindungi dan mengamankan areal perhutanan sosial termasuk membangun kolaborasi dengan para pihak.
Pelatihan ini diisi oleh beberapa narasumber handal berpengalam, diantaranya Kepala Balai TNBD Haidir, S.Hut M.Si, yang memaparkan materi terkait urgensi keterhubungan TNBD Dengan areal penyangga dalam mempertahankan tutupan dan kelestarian Kawasan Suaka Alam Lanskap TNBD. Kemudian Kasi KSDAE dan PM KPHP Batanghari, Amas, S.Hut, yang memberikan materi terkait hak dan kewajiban pengelola izin Perhutanan sosial dalam melindungi areal kelolanya. Di samping pembekalan pemahaman dan pengetahuan dasar terkait aturan dan dasar hukum perlindungan kawasan hutan, peserta pelatihan juga dilatih keterampilan GIS dan pemetaan yang difasilitasi Tim GIS KKI Warsi.
Untuk meningkatkan kapasitas keterampilan peserta dalam melakukan patroli dan monitoring area untuk pencegahan deforestasi, peserta pun dibekali materi praktik terkait teknik dan strategi pemantauan ekosistem hutan partisipatif yang difasilitasi oleh Diki Kurniawan, selaku koordinator Anti Illegal Logging Institute, Jambi (AILInts). Sharing pengetahuan dan keterampilan teknik dan strategi pemantauan ekosistem hutan partisipatif, ini, menurut Diki Kurniawan beranjak dari pengalaman pemantauan selama puluhan tahun bersama komunitas. Dalam paparannya, Diki Kurniawan sempat menyinggung bahwa saat ini ancaman nyata bagi perhutanan sosial adalah adanya fenomena perusahaan HTI mulai mengekspansi area izin perhutanan sosial untuk kepentingan suplai bahan baku dan perluasan areal tanamannya. Fenomena ini menurutnya, harus dijawab dengan ketangguhan komunitas untuk melindungi areal kelola mereka. Diki menambahkan, dari hasil analisis yang dilakukan, ancaman serupa juga sangat berpotensi terjadi di areal izin perhutanan sosial keempat desa yang ada di wilayah penyangga TNBD ini.
Sementara untuk menambah wawasan dan keterampilan komunitas dalam mitigasi kebakaran hutan dan lahan, Angga Septia dari Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera, membagi pengalamannya terkait strategi pemantauan dan upaya mitigasi kebakaran hutan dan lahan selama berkiprah di Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera maupun Jaringan Masyarakat Gambut Jambi. Dalam sesi pelatihan, Saprudin dari LPHN Sumpur Kudus, Sumatera Barat, juga turut membagi pengalamannya melalui zoom virtual terkait pengalaman dan pembelajaran LPHN Sumpur Kudus dalam mengembangkan inisiatif lokal dalam melindungi dan mengembangkan mekanisme perlindungan hutan di tingkat desa dan lanskap berbasis kearifan lokal dan adaptasi teknologi.
“Hari ini kita akan melakukan pelatihan, terutama untuk pelatihan patroli dan pengamanan, dan kemudian mencoba mengaitkannya dengan TNBD karena izin kita itu buffer zone atau penyangga TNBD sehingga kalau kita berhasil mengelola, mengamankan areal hutan desa dan HTR yang izinnya sudah didapat, harapannya juga dapat melindungi dan mengamankan TNBD. Itu harapan utama dan semangat utama kita berkumpul untuk pelatihan patroli dan pemantauan ini,” kata Direktur KKI Warsi Rudi Syaf pada Rabu (2/2).
Dalam pelatihan ini kelompok pengelola dibekali pemahaman mengenai hak dan kewajiban pengelola izin perhutanan sosial, hubungan TNBD dengan kawasan penyangga dalam mempertahankan kelestarian lanskap TNBD, pelatihan penggunaan GPS untuk patroli, teknik dan strategi pemantauan partisipatif, upaya mitigasi kebakaran hutan, dan pembuatan penyusunan laporan pemantauan. Melalui pelatihan patroli, kedepannya diharapkan kelompok LPHD dapat saling bekerja sama dalam penjagaan dan pengamanan TNBD. Total ada 11 desa yang berada di sekitar kawasan TNBD.
“Desa menjadi mitra pengelolaan taman nasional. Diibaratkan sebagai baju yang membungkus taman nasional, jika baju utuh, taman nasional akan aman. Selain itu, TNBD juga memiliki program perlindungan yang melibatkan masyarakat, masyarakat mitra polhut, jasa lingkungan, dan program rehabilitasi. Kedepan diharapkan ada tim pengamanan di masing-masing LPHD di 3 desa itu bisa kerja sama melalui patroli bersama di wilayah yang dianggap rawan,” jelas Haidir.
Saat ini LPHD belum melakukan patroli untuk kawasan hutan desa. Akses jalan dan tidak adanya pembiayaan menjadi salah satu faktor tidak terselenggaranya patroli.
“Patroli belum pernah dilakukan, karena memang terkendala akses jalan dan juga pembiayaan. Dengan adanya pelatihan ini tentang patroli dan pemantauan hutan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan juga meningkatkan kesadaran dari LPHD dan pemerintah desa dan juga cerminan bagi kita bersama agar lebih meningkatkan kepedulian kita terhadap rasa menjaga hutan. Jadi berharap adanya patroli rutin kedepannya,” kata Ersa Fransiska Sekdes LPHD dan Sekdes Desa Jelutih.
Terkait dukungan pembiayaan kegiatan patroli, Ersa mengatakan sangat perlu dukungan Pemerintah Kabupaten Batanghari dalam pengelolaan hutan desa salah satunya melalui pembuatan Perbub.
“Dana desa banyak, tapi dari Pemdes sudah ada jalur alokasinya dan juga harus ada aturan yang mengatur dengan Perbubnya yang belum ada pengaturan dana desa untuk perhutanan sosial. Bagi kami pemerintahan desa, bila ada Perbub dan kesepakatan masyarakat ada dana desa untuk kegiatan patroli,” tutupnya***