Belajarlah sampai ke negeri China, merupakan pepatah yang sudah sangat akrab dengan kita. Pendidikan adalah modal penting untuk masa depan, sehingga mengejar pendidikan dilakukan dengan beragam upaya dan usaha yang tidak mudah, tidak hanya oleh yang bersangkutan, namun juga butuh dukungan orang-orang terdekatnya. Bagi Orang Rimba—suku adat—yang tinggal di Provinsi Jambi, punya cerita sendiri tentang pendidikan.
Suku ini, awalnya sangat menutup diri dengan dunia luar, boleh disebut minim interaksi. Berdasarkan seloko adat Orang Rimba, mereka mengambil posisi berkebalikan dengan masyarakat desa. Hukum berkebalikan ini, konon didasari atas perjanjian persumpahan antara nenek moyang Orang Rimba dan nenek moyang orang desa. Adalah Bujang Perantau dan Putri Buah Kelumpang ini diaykini Orang Rimba sebagai nenek moyang mereka. Pernikahan ini menghasilkan empat anak, yaitu Bujang Malapangi, Dewa Tunggal, Putri Selaro Pinang Masak, dan Putri Gading. Seiring waktu, keempat saudara ini mengambil jalan berbeda, Bujang Malapangi dan Putri Selaro Pinang Masak memilih keluar dari hutan dan menjadi Orang Terang—sebutan untuk orang yang tinggal di luar rimba. Keduanya hidup di kampung. Dewa Tunggal dan Putri Gading tetap tinggal di hutan. Keempat bersaudara ini memutuskan untuk berpisah dengan membuat sumpah tentang cara hidup masing-masing.
Di Muaro Kembang Bungo Makekal, di pinggir Sungai Makekal, empat saudara berikrar. Bujang Malapangi memungut batang ubi, menggenggam ekor kerbau, yang adalah simbol hendak bertani dan beternak. Dewa Tunggal, yang memilih menetap di hutan, memungut pungko atau batang muda gadung dan menggenggam ekor biawak, sebagai simbol jalan hidup yang berkebalikan dengan pilihan Bujang Malapangi. Sejak persumpahan itu mereka mengambil jalan berkebalikan, jika di desa memakan hewan ternak dan tinggal di rumah, maka yang tinggal di rimba tinggal di pondok-pondok dan mengambil hewan buruan. Tidak hanya itu, segala hal yang terkait dari Orang Terang tidak bisa dilakukan di rimba.
Pendidikan awalnya juga dianggap sebagai budaya Orang Terang. Pemimpin Orang Rimba tidak mengizinkan budaya ini menyinggahi kehidupan rimba. Sampai pada masa dimana terjadi perubahan besar-besarkan pada alam Orang Rimba. Perobahan alam ini diikuti dengan pembodohan, Orang Rimba tersingkir dari hutannya karena ketidakmampuannya membaca rangkaian huruf dalam selembar ketas yang bernama surat. Pun tidak mampu menghitung hasil hutan bukan kayu yang mereka jual dipasaran. Adalah Komunitas Konservasi Indonesia Warsi yang perdana berinisiatif mengembangkan pendidikan dengan Orang Rimba. Alasannya menghentikan pembodohan dan membangun kesadaran kritis di Orang Rimba. Perjuangan yang tidak mudah karena penolakan demi penolakan datang dari Orang Rimba. “Merubuh Halom”, demikian menurut Orang Rimba. Menuruh halon yang dimaksud adalah kehilangan adat dan budaya. Menurut tetua Orang Rimba pendidikan akan menjadikan Orang Rimba tidak lagi menggunakan jadi diri rimba, inilah yang disebut merubuh halom.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, halom Orang Rimba rubuh, berubah justru bukan karena pendidikan, tapi karena masifnya berbagai perizinan yang mengepung ruang hidup mereka. Orang Rimba tidak punya kemampuan untuk menghentikan beragam izin yang datang ke wilayah mereka. Hanya dengan selembar surat yang tidak mereka pahami isinya, Orang Rimba terusur dari tanah moyangnya. Kondisi ini tentu menyulitkan Orang Rimba, ribuah hektar hutan berubah seketika. Pohon-pohon tumbang, bahkan termasuk pohon-pohon sakral dalam adat dan budaya Orang Rimba, pohon sentubung, tenggeris dan sialang. Padahal bagi Orang Rimba, kehilangan pohon sentubung dan tenggeris sama artinya dengan kehilangan jiwa, kehilangan sialang, berarti kehilangan sumber ekonomi.
Situasi sulit di Orang Rimba ini bisa diurai dengan adanya pendidikan di Orang Rimba. Hanya saja Orang Rimba tetap sulit memahami bahwa pengetahuan huruf dan angka adalah modal penting untuk mengahadapi persoalan mereka dengan pihak lain. Di tengah situasi ini KKI Warsi hadir, melakukan pendampingan ke Orang Rimba, memahami adat dan budaya mereka hingga menemukan formula pendidikan yang cocok dengan kondisi Orang Rimba.
Pendidikan di dalam Rimba
Pendidikan baca tulis dan hitung, menjadi pilihan dengan kondisi masyarakat yang masih belum bisa beradaptasi dengan pendidikan formal. Pendidikan formal mengacu kepada pendidikan yang diselenggarakan pemerintah, mengacu ke seolah dasar hingga lanjutan. Kondisi berat bagi Orang Rimba, terutama masalah akses yang jauh menuju ke lokasi sekolah, model pendidikan terkonsentrasi dalam kelas sulit dijalani Orang Rimba karena mereka terbiasa hidup di alam bebas. Selain itu juga penerimaan dari lingkungan. Perpaduan ini yang mendorong lahirnya sekolah alternatif, sekolah yang hanya fokus pada baca tulis dan hitung. Adalah Yusak Adrian Hutapea yang menjadi guru pertama di belantara, mengajarkan huruf dan angka pada Orang Rimba sejak 1998 lalu. Tempat pelaksanaan pendidikan di lakukan di dalam rimba, di lingkungan kehidupan anak-anak rimba. Cara mengajarnya guru-guru rimba diterjunkan langsung ke dalam rimba. Belajar sambil bermain dan memasak. Sambil mencuci peralatan memasak sambil memanjat pepohonan di hutan. “Dimanapu kami bisa belajar, pasir-pasir dipinggir sungai bisa menjadi papan tulis, daun pisang bisa jadi media tulis, apapun yang bisa kita jadikan media untuk belajar,”kata Juharul Maknun Fasilitator, salah satu guru Warsi yang sudah mengabdikan diri kepada pendidikan Orang Rimba sejak 2012 silam.
Maknun adalah salah satu guru warsi yang masih eksis hingga sekarang, sebelumnya silih berganti guru-guru mengabdikan diri pada pendidikan Orang Rimba dibawah naungan KKI Warsi. Orang Rimbapun semakin terbuka dengan pendidikan dan pendidikan tidak hanya lagi sekedar mampu menuntaskan buta aksara. Perlahan namun pasti anak-anak rimba tumbuh dengan beragam cita-cita, menjadi guru, menjadi tentara, menjadi polisi adalah ragam cita-cita yang ingin di raih Orang Rimba.
Ini juga yang mendorong Warsi untuk menyambungkan Orang Rimba dengan pendidikan formal. Diskusi demi diskusi dilakukan dengan penyelenggara pendidikan formal. Juga diskusi dengan orang tua siswa yang akan bersekolah. “Dengan penyelenggara pendidikan yang kita diskusikan termasuk soal penerimaan peserta didik dan orang tua lain ke Orang Rimba, mengingat stereotip yang sudah terlanjur melekat pada Orang Rimba, sehingga bergabungkan Orang Rimba di sekolah formal bisa menimbulkan ketidaknyamana, baik dari anak rimbanya, maupun dari siswa non rimba. Untungnya dari komunikasi yang kita jalin, perbedaan ini bisa diminimalkan sehingga Orang Rimba bisa sekolah disekolah formal dan mereka bisa diterima oleh warga sekolah yang lainnya,”kata Maknun.
Diisisi Orang Rimbanya dibangun komitmen bahwa mereka benar-benar mau sekolah dengan semua aturan dan tanggung jawab yang harus mereka jalankan sebagai peserta didik. “Untuk hal-hal sederhana misalnya, mandi pagi, sikat gigi, pakai baju bersih, ini dilatih dulu, bukan langsung bisa mereka, karena memang Orang Rimba datang dari budaya yang berbeda,”kata Maknun.
Untungnya adaptasi ini bisa dijalankan dan berlangsung dengan baik. Sehingga pendidikan Orang Rimba bisa berjalan dengan baik. Kini tercatat tiga anak Rimba telah diterima di kesatuan Polisi Indonesia, dan satu orang tercatat sebagai anggota Tentara Republik Indonesia.
“Ya, saya bangga bisa sekolah dan kini bisa menjadi TNI, yang jelas penghidupan menjadi lebih baik,”kata Budi Hartono, Orang Rimba yang kini telah berpangkat Pratu (Prajurit Satu).
Contoh-contoh keberhasilan pendidikan dan juga kondisi alam rimba yang banyak berubah, turut mengobarkan semangat anak rimba lainnya untuk terus bersekolah. Bekaram (15), anak rimba, Orang Rimba, dari Kelompok Tumenggung Grip meninggalkan orang yuanya, jauh di rimba Bukit Duabelas dan berjuang keras untuk pendidikan yang lebih baik di Kota Jambi. Terpaut jarak lebih 204 km, dari Bekaram sejak 3 tahun ini tinggal di Panti Sosial Harapan Mulia, Panti Sosial Bina Remaja dan Wanita, dan menjalani hari-hari sebagai siswa SMP 8 Kota Jambi.
Dengan dukungan dari Dinas Sosial Provinsi Jambi, Bekaram menguatkan tekatnya untuk bisa terus bersekolah. “Karena satu-satunya masa depan itu di pendidikan. Dulu banyak di rimba (sumber penghidupan), kini tambah sulit mencari apopun. Jadi mau sekolah adalah pilihan saya,” kata Bekaram, putra Tumenggung Grip ini.
Beruntung Bekaram selama menjalani pendidikan juga mendapat dukungan penuh dari KKI Warsi. Guru-gurunya yang dulu mengajarinya ABC di rimba kerap mengunjunginya di panti, mengajak jalan dan atau sekedar membeli buku bersama. “Kita juga dukung uang jajan dan belanja keperluannya yang tidak ditanggung Dinas,”kata Jauharul Maknun.
Caranya, dengan membuat kerajikan. KKI Warsi yang sejak 2019 lalu telah resmi membentuk PKBM Bungo Kembang sebagai wadah untuk mengelola pendidikan Orang Rimba. Selain mendidik anak-anak di lapangan, PKBM juga mendukung anak-anak yang sedang menempuh pendidikan. “Kita bisa membuat kerajinan seperti kalung sebelit sumpah, gantungan kunci dan lainnya, dijual dan hasilnya diberikan ke Bekaram, sebagai uang jajannya,”kata Jauharul Maknun yang juga tercatat sebagai Ketua PKBM Bunga Kembang.
Gotong Royong dan kerjasama ini, mampu menaham Bekaram untuk betah tinggal di kota, di tempat yang jauh berbeda dengan situasi rimba. Untuk mengobati rasa rindunya dengan sanak saudara, Bekaram bisa melakukan panggilan telpon. Dan juga dia menyibukkan diri dengan pengembangan kapasitas diri. Salah satunya dengan mengikuti ekstra kurikuler tekwondo. Pada akhir Juni ini, Bekaram yang memegang sabuk merah akan berlaga di Lampung. Pertandingan dijalani Bekaram untuk meningkatkan ketangkasan dan kepercayaan diri. Selamat Bekaram, alam rimba bangga padamu.
Selamat Hari Anak untuk seluruh Anak Nusantara, teruslah berjuang untuk masa depan apapun kondisinya.