
Masyarakat di pedalaman Kalimantan Utara tengah berduka. Agustus yang biasanya identik dengan musim tanam padi ladang, berubah menjadi petaka. Betapa tidak hujan yang terus-menerus mengguyur sejak beberapa hari ini telah menyebabkan sungai-sungai besar di meluap. Masyarakat Data Dian Kecamatan Kayan Hilir Kabupaten Malinau merasakan dampak banjir Bulan Agustus ini. Sungai Kayan yang melintas di pinggir desa telah meluap dan airnya masuk ke pemukiman.
“Terparah kondisinya di RT 2, ada sekitar 20 rumah yang tepat di pinggir sungai terendam banjir, rata-rata ketinggian air mencapai 1 meter” kata Trim Ifung Kepala Desa Data Dian.
Trim menjelaskan banjir yang melanda Data Dian saat ini tergolong sangat parah. Sejatinya desa Data Dian jauh diatas bibir sungai. Lebih dari 4 meter pada saat ketinggian air sungai normal. “Terakhir banjir besar seperti ini tahun 2000,” kata Trim.
Warga data Dian yang dihuni oleh Suku Kayan itu memang telah mengantisipasi naiknya muka air sungai dengan membuat rumah panggung sebagaimana diwariskan leluhur. Selain antisipasi banjir juga mengantisipasi serangan binatang buas. Rumah di bangun dengan ketinggian 1-1,5 meter dari permukaan tanah. Namun sebagian rumah di desain bagian dapurnya lebih rendah. Sehingga dapur ini yang terendam ketika sungai Kayan meluap hingga ketinggian satu meter di dalam pemukiman warga.
Trim menjelaskan tidak hanya merendam pemukiman warga, meluapnya Sungai Kayan dan Sungai Iwan yang merupakan anak Sungai Kayan juga telah berdampak pada ladang masyarakat Data Dian yang sedang dalam proses menanam padi ladang. Dari 116 KK warga Data Dian lebih dari 50 KK berladang tepat di pinggir Sungai Iwan dan Sungai Kayan. Data Dian memulai musim tanam serentak 19 Agustus setiap tahunnya. Setelah masing-masing keluarga memulai musim tanam, dilanjutkan dengan proses gotong royong untuk menyelesaikan seluruh lahan perladangan ditanami padi.
“Kami sedang bergotong royong menyelesaikan masa tanam padi, tapi hujan deras yang turun beberapa hari ini, kita tidak bisa ke ladang, dan sayangnya lagi yang sudah selesai di tanam juga terendam banjir,” kata Trim.
Dikatakannya tahun lalu, warga berladang di seberang perkampungan. Selesai panen bulan Februari lalu, warga menyepakati untuk ladang tahun 2023 dibuat di pinggir sungai Iwan, agak ke wilayah hulu. Dulunya pinggir Sungai Iwan adalah perkampungan suku Kayak Umak Leken. Hanya saja sejak terbentuk Desa Data Dian, warga di Sungai Iwan bergabung ke Data Dian. Dengan jarak tempuh 1 jam naik ketinting ke arah hulu.
Trim menjelaskan warganya belum mengambil sikap dengan ladang yang terendam tersebut. Mereka masih fokus berjaga meluapnya air di pemukiman. Mengulang ladang kembali cukup berat untuk dilakukan, mengingat proses penyiapan lahan untuk menanam padi ini cukup panjang.
Anomali cuaca yang terjadi juga berdampak kepada masyarakat yang tinggal di pinggir Sungai Malinau. Di Desa Metut Kecamatan Malinau Selatan Hulu misalnya, mereka belum bisa mempersiapkan musim tanam yang akan dimulai September depan. “Kami sudah mempersiapkan ladang untuk menanam padi sejak bulan Juni. Kami sudah menebas, menunggu saat yang tepat untuk membakar, tapi itu belum bisa dilakukan karena hujan terus. Biasanya kita persiapan ladangnya selesai di Agustus sehingga September mulai bertanam,” kata Kamilus Kepala Desa Metut.
Kamilus menjelaskan kebingungan warga dengan siklus musim yang tidak bisa diprediksi lagi. Tapi musim tidak lagi sama dan penyiapan ladang pun tidak selesai.
“Kami bingung dengan kondisi yang seperti ini,” kata Kamilus.
Dari 95 KK di Metut, baru dua KK yang ladangnya sudah bisa ditanami September nanti. Hal ini dikarenakan dua keluarga ini sudah lebih awal mempersiapkan ladang.
Anomali cuaca yang membingungkan petani dan menimbulkan petaka banjir di banyak tempat di Kalimantan ditengarai sebagai dampak dari perubahan iklim yang melanda dunia global. Di awal tahun BMKG mengingatkan El Nino pada 2023. Indonesia memasuki musim kering ekstrim pada musim kemarau yang biasanya di mulai sejak Juni. Di beberapa daerah musim kemarau ini telah berubah menjadi petakan kebakaran hutan dan lahan. Water bombing, teknologi modifikasi cuaca dengan hujan buatan, dilakukan di Sumatera, untuk pembasahan lahan-lahan terbakar. Di Jakarta sudah tidak turun hujan hampir dua bulan yang menyebabkan polutan di udara Jakarta disebut tidak sehat, Diantara kondisi inilah banjir melanda pedalaman Kalimantan. Perubahan iklim dan ancaman nyata pada masyarakat sudah terasa. Pembahasan perubahan iklim dan dampaknya itu tidak lagi menjadi pembicaraan di forum-forum internasional, tapi sudah langsung dirasakan masyarakat. “Warga desa yang jauh di pedalaman pun sudah merasakan dampaknya,” kata Sukmareni Koordinator Divisi Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, lembaga yang aktif melakukan pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Bagi warga pedalaman yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam, perubahan-perubahan ini berdampak besar pada kehidupan. Menanam padi yang hanya dilakukan sekali setahun untuk memenuhi kebutuhan hidup sampai satu tahun berikutnya. Tidak ada sumber pangan lain selain padi sekali setahun ini. Jika gagal panen di tahun depan akibat terendam banjir bisa dipastikan sumber pangan untuk tahun depan terancam.
Warga Data Dian misalnya, akses nya sangat sulit hanya dengan menggunakan pesawat perintis dari ibukota Kabupaten. Jika terjadi gagal panen, masyarakat akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. “Selama ini masyarakat mandiri pangan, walau hanya sekali setahun bertanam padi hasilnya cukup sampai tahun depan, tapi kalau ladangnya yang terganggu keterancaman panen tahun depan sudah di depan mata,” kata Reni.
Untuk itu menurutnya ancaman perubahan iklim itu nyata sudah menyentuh lapisan kehidupan masyarakat. Masyarakat yang berada di pedalaman yang jauh dari akses juga sangat terdampak. Untuk itu menurutnya sangat penting adanya komitmen bersama untuk melindungi bumi. “Harus ada upaya dari semua pihak untuk melindungi bumi, jika tidak maka kita semua yang akan semakin sulit di masa yang akan datang,” pangkas Reni.