Pandemi Covid 19, turut memperlambat pergerakan ekonomi masyarakat desa. Karet yang biasanya menjadi andalan, sejak beberapa waktu lalu tidak lagi disadap karena berhentinya kegiatan pasar lelang karet. Ini juga yang dirasakan oleh masyarakat Bathin III Ulu Kabupaten Bungo. Di tengah kesulitan ekonomi ini, bersyukur masyarakat mendapatkan berkah karbon. Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) sejak dikelola oleh masyarakat lima desa dengan skema Hutan Desa mampu mempertahankan tutupan hutan. Nyaris zero kehilangan tegakan pohon, artinya semua karbon tersimpan dalam bentuk stok karbon alam, tidak ada yang dilepas ke udara.
Penyimpanan karbon dalam kawasan hutan inilah yang menjadi nilai tambah Bujang Raba. Sejak 2018 Bujang Raba masuk pasar karbon sukarela. Tahun ini, kembali Bujang Rama mendapat berkah karbon. Terkumpul dana karbon yang cukup besar Rp 1 M Dollar. Dana yang terkumpul ini dibagi untuk desa yang mengelola hutan desa di Bujang Raba. Melalui diskusi dengan masyarakat, dana karbon dijadikan paket sembako, kebutuhan pembangunan sarana publik dan dana operasional kelompok Pengelola Hutan Desa.
Secara bertahap paket ini sudah dibagikan ke desa-desa pengelola hutan desa. Sebanyak 504 paket diserahkan ke Sungai Telang, 243 di Senamat ulu 243 dan 198 paket di Laman Panjang . Sedangkan dua desa lagi, bentuk dana yang akan disalurkan masih belum diputuskan oleh masyarakat desanya. Masing-masing paket berisi beras, telur, minyak dan lainnya tergantung dari permintaan masing-masing desa. Untuk mengurangi kerumunan pembagian sembako dilakukan per jorong di masing-masing desa.
Berkah Ramadhan dari dana karbon ini awalnya masih menjadi tanda tanya di masyarakat. Bagaimana mungkin hutan yang tumbuh di sekitar mereka bisa menghasilkan uang tanpa mengganggu hutan mereka. Bagaimana mungkin menjual angin? Pakai apa membawa anginnya? Pertanyaan-pertanyaan itu sempat menjadi pertanyaan masyarakat ketika pasar karbon sukarela mulai berjalan. Kini dengan bantuan ini, cukup membantu meringankan beban masyarakat di tengah wabah pandemi ini.
Pasar karbon sukarela yang di gagas Warsi, bukanlah menjadi tujuan awal. Hanya saja ketika hutan yang diperlihara dengan baik oleh masyarakat desa ini, memperlihatkan tidak adanya deforestasi dan degradasi hutan, tentu sejalan dengan pelaksanaan program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) , yang mulai di gagas sejak COP 13 di Bali.
REDD + merupakan upaya untuk memberikan insentif keuangan dalam mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu bentuk dari kegiatan ini adalah perdagangan karbon, istilah yang merepresentasikan aktivitas penyaluran dana dari negara-negara penghasil emisi karbon kepada negara-negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang mampu menyerap emisi karbon secara alami. Kriteria negara penerima adalah mampu mempertahankan hutan dari deforestasi dan degradasi.
Bujang Raba adalah salah satu proyek REDD masyarakat Indonesia pertama dengan kegiatan mitigasi dengan menyimpan 670.000 tCO2 dengan mencegah deforestasi dalam kurun waktu sepuluh tahun (2014-2023). Dalam proyek REDD, desa-desa di Bujang Raba berkomitmen melindungi 5.336 hektar hutan primer dari konversi ke non-hutan. Komitmen ini akan melindungi ekosistem hutan tropis dataran rendah yang terancam punah.
Sejak 2013, KKI Warsi tertarik mengembangkan model REDD+ di level komunitas atau Community Carbon. Kegiatan ini dilakukan untuk melihat peran masyarakat memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim sekaligus untuk mengetahui bagaimana pasar carbon sukarela (voluntary carbon market) bekerja.
Tahap awal, Warsi antara lain memastikan tidak ada perubahan tutupan hutan, lalu menghitung stok karbon, dan menyiapkan Project Design Document (PDD) untuk Program Plan Vivo. Sejalan dengan itu, di tingkat masyarakat dilakukan penggalian aspirasi dan penguatan kesepakatan pengelolaan kawasan hutan berkelanjutan. Seluruh kegiatan diukur kinerjanya oleh pihak ketiga dengan melakukan verifikasi dan validasi lapangan sampai kemudian Warsi memiliki akun di Carbon Market.
Di Carbon Market, Bujang Raba ditawarkan ke berbagai pihak. Akan tetapi, tidak mudah mendorong pasar karbon sukarela ini, apalagi di tengah regulasi yang belum memihak masyarakat sebagai penerima manfaat langsung dari perdagangan karbon. Tidak mudah pula menemukan pembeli. Proyek perdana penjualan karbon Bujang Raba diluncurkan pada 2015. Baru pada 2018 pembeli berhasil didapatkan, melalui jasa broker (buyer yang menghendaki tidak langsung ke seller. Jasa broker diperlukan untuk melakukan survei kelayakan lokasi. Selain itu, pasar karbon masih mengambang –belum terlalu jelas siapa dan bagaimana prosesnya. Namun, upaya untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat mendorong Warsi untuk terus mencoba.
Transaksi perdana karbon dari Bujang Raba mencapai 6000 ton tahun 2018 lalu. Dananya dimanfaatkan langsung untuk mendukung kegiatan layanan kesehatan dan pendidikan (paket beasiswa), penguatan institusi Hutan Desa di lima desa dalam kawasan Bujang Raba serta peningkatan ekonomi masyarakat dan biaya operasional pengamanan kawasan.
Selanjutnya pasar karbon terus bergulir dan pembelian tahap berikutnya juga berjalan. Saat ini sedang dalam proses penggalian pada masyarakat untuk distribusi manfaat dana karbon yang tertumpul. Tentu harapannya, dana karbon ini bisa dirasakan manfaatnya oleh 1.259 rumah tangga yang menggantungkan hidup dan mata pencaharian mereka pada alam melalui agroforestry berkelanjutan. Menjual angin itu pun kini menjadi nyata. (Sukmareni)
Wah sangat bersukur masyarakat bisa merasakan manfaat dari hutan.
Alhamdulillah pak..