Hari ini delapan anak rimba dari Kelompok Tumenggung Grip masuk sekolah. Dua orang diantaranya Besimbur (9 tahun) dan Nyeser 8 tahun, perdana untuk sekolah formal dan terdaftar di kelas 1 SD 191 Air Panas Kecamatan Air Hitam Sarolangun. Bersama dengan enam anak lainnya Besati (14 tahun) kelas 5, Ceriap (13 tahun) kelas 5, Bekaram (11 tahun) kelas 4, Bepuncak (10 tahun) kelas 3, Bepanau (10 tahun) kelas 2 dan Pengarang Gading (9 tahun) juga kelas 2, yang sudah lebih dahulu masuk sekolah formal. Mereka sebagian masih tinggal di dalam rimba tepatnya di Sako Slensing Taman Nasional Bukit Duabelas, ada juga yang orang tuanya sudah bermukim di perumahan Sosial Bukit Suban.
Bagi anak-anak rimba ini sekolah formal merupakan jembatan bagi mereka untuk meraih pendidikan yang lebih baik. Jika sebelumnya mereka sudah belajar baca tulis hitung dengan fasilitator pendidikan Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, kali ini mereka akan di sekolah formal untuk mendapatkan legalitas pendidikan mereka.
Masuk sekolah formal bagi anak rimba maupun bagi pendamping selalu ada cerita segar dan heboh. Yohana Pamella Berlianan Marpaung yang menjadi fasilitator Pendidikan WARSI menuturkan kisahnya dalam mengayomi anak-anak ini ke sekolah. Diawali dengan mendaftarkan calon peserta didik baru ke sekolah, mengurus perlengkapan untuk sekolah hingga menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak yang akan ke sekolah.
Bagi anak yang akan masuk sekolah berarti akan mengubah pola kebiasaan mereka. Jika selama ini mereka tinggal di rimba bersama dengan orang tuanya, namun untuk memudahkan mobilisasi ke sekolah anak-anak ini sementara tinggal di kantor lapangan WARSI.
Yohana sudah mendaftarkan anak-anak ke sekolah terdekat yaitu SD 191 Air Panas Kecamatan Air Hitam Sarolangun. Pihak sekolah langsung menerima anak-anak yang akan masuk. Sebelumnya sekolah ini memang sudah menjadi salah satu sekolah yang menerima peserta didik dari Orang Rimba, bahkan sempat menjadi sekolah khusus Orang Rimba sebelum menjadi sekolah umum yang juga menerima anak-anak dari suku Melayu.
Hanya saja, untuk standar formal sekolah ini, anak-anak yang mendadaftar harus terdaftar sebagai penduduk. “Ada anak yang orang tuanya belum punya KK, atau kalaupun sudah punya KK namun datanya masih belum up date, sehingga kami mengurus kembali administrasi Orang Rimba ini ke Kantor Desa,” kata Yohana.
Menurutnya, sebagian besar anak yang sekolah belum memiliki nomor induk siswa (NIS). NIS merupakan kode pengenal identitas siswa yang bersifat unik, standar dan berlaku sepanjang masa. Saat ini kementrian pendidikan dan kebudayaan sudah menerapkan nomor induyk siwa nasional (NISN). Dengan adanya nomor ini, dapat membedakan satu siswa dengan siswa lainnya di seluruh sekolah Indonesia. Pembuatan NIS ini mengacu pada data kartu keluarga. Disinilah persoalan itu muncul karena untuk membuat NIS ini membutuhkan data kependudukan. “Ini habis antar anak-anak ke sekolah aku lanjut ke kantor desa untuk urusan data kependudukan anak-anak yang sekolah,” ujar Yohana.
Tidak hanya untuk urusan administrasi, Yohana juga terlibat aktif untuk mempersoapkan anak-anak itu masuk sekolah. Penyandang gelar Master of Arts (M.A.) dari Ilmu Antropologi Budaya Universitas Gajah Mada ini, juga menjalankan peran sebagai wali murid anak-anak yang akan bersekolah. Sejak dua hari jelang hari masuk sekolah Yohana sudah sibuk mempersiapkan segala kebutuhan anak-anak. “Kami rombongan ke pasar, belanja seragam sekolah, merah putih dan pramuka, beli sepatu, ikat pinggang hingga topi dan dasi,”kata Yohana.
Dia berusaha di hari pedana sekolah nanti anak-anak didiknya itu tampil prima dan sama dengan anak lainnya. Paling tidak langkah ini akan meningkatkan semangat dan harkat diri anak-anak rimba yang masih sering merasa malu jika berbaur dengan anak lainnya. Tak lupa Yohana mengajak anak didiknya untuk mampir ke tukang cukur sehingga mereka bisa tampil rapi di hari sekolah. Tak lupa anak-anak juga dibekali peralatan untuk kebersihan diri, mulai dari sikat gigi hingga sabun dan shampoo.
Sehari menjelang sekolah semua anak sudah mempersiapkan pakaian dan tak sekolah mereka. Semua sudah di susun rapi. “Anak-anak aku wajibkan tidur sebelum jam 10 malam, sehingga paginya mereka bangun segar dan lebih cepat,”kata perempuan kelahiran 26 tahun lalu ini.
Paginya anak-anak ini benar-benar semangat. Jam 5 sudah pada bangun, langsung mandi dan sikat gigi. Layaknya ibu yang anaknya akan sekolah pagi, Yohana juga menyiapkan sarapan untuk delapan anak rimba itu, di bandu Besati dan Pengarang Gading, sarapan sereal, nasi dan telur dadarpun terhidang untuk delapan anak yang akan sekolah. Pagi itu, diiringi suara burung dan sautan ungko, ketika jam masih menujukkan pukul 6.30, delapan anak rimba itu, diatar Yohana ke sekolah mereka. SD 191 Air Panas.
Untuk kesiapan anak-anak belajar Yohana tidak meragukannya. Jauh sebelum sekolah dimulai, Yohana sudah mempersiapkan hal-hal mendasar bagi anak-anak rimba yang akan bersekolah. Termasuk pengenalan caba tulis dan hitung. “Semoga anak-anak rimba bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan bisa menjadi bagian anak-anak yang akan memberi warna untuk Indonesia ke depan,”ujar Yohana.
Tidak hanya di Air Hitam, keriuhan menyambut hari perdana sekolah juga terjadi di kelompok Orang Rimba kelompok Sikap di Batin VIII dan Yudi di Pelakar Jaya. Tahun ini, terdapat empat anak yang masuk di kelas satu, yaitu Riana, Meti, Juliyana dan Aladin. Anak-anak rimba ini bergabung dengan anak lainnya untuk sekolah di SD 256/VI Pematang Kancil II Desa Pelakar Jaya Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin. Bagi anak rimba di kelompok ini relatif sudah hidup menetap dan mulai berbaur dengan warga lainnya. “Namun persiapan kami tadi pagi untuk berangkat sekolah lumayan heboh, tapi yang penting anak-anak tetap semangat sekolah,” kata Astrid Manurung pendamping Orang Rimba dari KKI WARSI yang menjembatani anak-anak di kelompok ini untuk sekolah.
Dikatanyannya di sekolah anak-anak ini cukup diterima dan bisa berbaur dengan anak lainnya. Kuncinya sebelum sekolah anak-anak rimba sudah dibekali dengan keterampilan dasar untuk tampil bersih ketika akan bersekolah.