Menumbuhkan Hutan Memulihkan Ekologi

Hari raya Orang Rimba adalah musim buah yang melimpah di hutan. Pertahunan Agung, begitu istilah yang digunakan untuk menyatakan panen raya buah-buah di hutan. Ada banyak buah yang tumbuh di hutan Orang Rimba, durian, kuduk kuya, mata kucing, ajon,  sengkoyo, rambutan, dekat, buasiu,  siabuk,  ranggung, kapesung dan lainnya. Sebelum musim buah biasanya akan diawali dengan musim madu. Bermekarannya bunga-bunga hutan, menjadi penyedia nectar yang merupakan bahan pangan lebah. Nectar dikumpulkan lebah dalam sarangnya, yang digantungkan di pohon-pohon besar dinamai sialang, bisa dari jenis kedondong dan jenis pohon lainnya.

Ketika musim ini tiba, itu sama artinya dengan kemewahan bagi Orang Rimba. Suku yang tinggal di dalam hutan dan mengandalkan hidup dari keramahan alam. Sayangnya kemewahan ini sudah semakin jarang terjadi. Peralihan musim yang tidak menentu diyakini sebagai penyebab perubahan ini.

“Sudah semakin jarang kami hari raya, musim buah semakin jarang,” kata Tungganai Basemen, tetua adat Orang Rimba di Bukit Dua  Balas Jambi.

Tungganai tidak tau pasti apa yang menyebabkan perubahan ini, namun dia meyakini, hutan yang tidak lagi lebat bisa jadi penyebabnya. “Dulu hutan disio lebat, kamia hopi ado penaihan, (dulu hutan lebat, kami tidak ada kepanasan,” kata Tungganai. Kepanasan yang dimaksud adalah sengatan matahari yang langsung terasa di kulit. Dulu hutan yang lebat melindungi Orang Rimba dari terpaan sinar matahari sehingga hutan adalah tempat yang sejuk. Namun kini untuk menemukan hutan yang lebat, sudan semakin sulit.

Perubahan situasi rimba ini, beriringan dengan perubahan musim, yang berdampak pada berkurangnya sumber pangan Orang Rimba dari alam.  Cerita lainnya juga datang dari warga pedesaan di Kabupaten Bungo Jambi.  Masyarakat yang tinggal di tepi hutan, mengandalkan pertanian sebagai sumber kehidupan. Di bentangan sawah yang dulunya menjadi sumber pangan, petani harus bekerja lebih ekstra dan mengeluarkan biaya lebih banyak karena serangan hama yang semakin banyak dan tidak dikenali lagi.

Jika dulu, serangan hama bisa diprediksi an dikendalikan berdasarkan kearifan lokal. Namun main ke sini hama yang menyerang padi makin baik. Pekerjaan makin berlipat untuk menjaga padi guna mempertahankan panen.

Di pesisir timur Jambi, keluhan warga juga timbul. Laut pantai timur semakin kuat menghantam daratan. Kebun-kebun kelapa dan pinang, yang menjadi sumber ekonomi warga pesisir mula terendam air laut. Warga berupaya untuk meninggikan tanggul yang membatasi laut dengan daratan. Sebagian mampu menahan naiknya air laut ke daratan. Sebagian lain menunggu nasib terendam air laut dan masyarakatnya kehilangan mata pencarian. Ada juga yang mencoba menjual murah kebunnya, namun menjadi sulit karena masa depan kebun itu sudah makin suram seiring dengan makin dekatnya air laut.

Perubahan-perubahan alam dan melahirkan fenomena yang mengarah pada akan semakin sulitnya kehidupan masyarakat. kondisi ini bisa diterjemahkan sebagai dampak perubahan iklim yang sudah semakin nyata. Hutan memegang peranan penting untuk mengendalikan perubahan iklim. Hingga kini, hanya hutan yang mampu mereduksi karbondioksida sebagai penyebab utama perubahan iklim. Menumbuhkan hutan dan mengelola kerusakan alam harus terus dilakukan, sebagai langkah penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Di Jambi, upaya untuk menumbuhkan hutan ini mulai memperlihatkan hasilnya meski belum terlalu signifikan. Dari analisis citra satelit Sentinel 2 yang dilakukan Unit GIS KKI Warsi terlihat tutupan hutan Jambi naik 16.285 atau 2 persen menjadi 912.947 ha.

“Kenaikan tutupan hutan ini terlihat di sejumlah kawasan yang dikelola oleh masyarakat dengan skema perhutanan sosial, di pinggir kawasan konservasi yang masyarakatnya komit untuk melindungi hutan,” kata Direktur KKI Warsi Adi Junedi.

Dikatakannya kenaikan hutan disebutkan sebagai bentuk kesadaran masyarakat yang mengelola hutan dengan baik dan mengambil peran untuk memulihkan hutan berbasis kearifan lokal yang dipertahankan hingga saat ini. Perhutanan sosial yang didampingi Warsi, pada tahun 2020 dari 104.734 ha kawasan yang bertutupan hutan baik baru 59.498 ha atau 57 persen. Dengan pengelolaan yang terus dilakukan masyarakat, hasil ini memperlihatkan bahwa mulai ada penambahan tutupan hutan. Dalam dua tahun terakhir tutupan hutan di areal perhutanan sosial bertambah 5.525 ha.

TahunPerizinan Perhutanan Sosial (ha)Tutupan Hutan (ha)Persentasi (%)
2020104.73459.49857
2021104.73461.92659
2022104.73465.02362

Pertumbuhan Hutan di Areal perhutanan sosial ini, menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya hutan dan kerja keras yang dilakukan untuk memulihkan hutan mulai menunjukkan hasil. “Ini yang harus terus didukung oleh semua pihak, karena kita semua menikmati setiap hembusan udara bersih yang dihasilkan oleh hutan,” kata Adi Juned.

Untuk menguatkan masyarakat pengelola hutan, ini perlu adanya dukungan para pihak. Di sejumlah kawasan perhutanan sosial yang dikelola masyarakat saat ini berkembang program pohon asuh. Dengan program ini, publik bisa terlibat langsung berdonasi untuk masyarakat yang sudah mengelola hutannya dengan baik. Tertarik untuk mengikuti program ini, bisa kunjungi website www.pohonasuh.org.

Ancaman memperburuk iklim masih terjadi

Dari analisis citra sentinel 2 yang dilakukan KKI Warsi memperlihatkan bahwa, kondisi PSDA Jambi masih membutuhkan pemulihan dan perbaikan tata kelola. Dari analisis yang dilakukan penambangan emas illegal masih menjadi persoalan utama yang membelit Jambi. Dari analisis citra sentinel 2 terlihat bukaan alur sempadan sungai yang dilakukan penambang emas liar sudah mencapai 45.896 ha atau naik 3.535 ha naik 8 persen dari tahun sebelumnya.

KabupatenLuas Areal PETI Tahun (ha)
201620172019202020212022
Sarolangun6.37013.76214.12615.25415.65915.878
Merangin4.5569.67912.34915.81215.85716.072
Bungo4.0944.7115.6116.7488.801
Tebo2,5622.8514.0905.101
Kerinci4729744
Batanghari37
Total10.92627.53533.83239.55742.36145.896

Analisis Citra Sentinel 2 Unit GIS KKI Warsi November 2022

Dari analisis yang dilakukan, tampak bahwa penambangan emas illegal ini makin masuk jauh ke dalam kawasan hutan dan semakin banyak hadir di lahan masyarakat. di kawasan hutan terpantau aktivitas ini berada di dalam kawasan konservasi.

“Kerusakan yang terjadi di kawasan yang di tambang ini akan memperburuk kualitas hidup masyarakat yang tinggal disekitar areal dan masyarakat di hilirnya,” kata Adi Junedi.

Untuk itu, Warsi menuntut pemerintah mengambil langkah tegas untuk menghentikan penambangan emas liar ini. Dari pengalaman mendampingi masyarakat, penambangan emas ini bisa dihentikan dengan cara memberikan sumber ekonomi baru bagi masyarakat pelaku tambang. Sejatinya masyarakat juga takut dengan aktivitas tambang liar, hanya saja bujuk rayu para toke dan oknum tertentu telah menyeret masyarakat ke dalam persoalan ekologi dan mengatasi kesulitan ekonomi sesaat atau biasa disebut dengan rezeki harimau. “Dari pengamatan di lapangan, para penambang ini, juga tidak merasakan ketenangan dalam mencari sumber ekonomi. Mereka sangat terbuka jika ada sumber ekonomi yang bisa diolah dan dikerjakan dan tentu bernilai ekonomi tinggi.

Di Bukit Bulan Sarolangun, Warsi menguji cobakan pengembangan Kelompok Petani kakao sejak 2017. Sebagian anggota kelompok ini adalah  bekas penambang yang insaf dan kembali berladang dengan komoditi kakao. Kini petani ini sudah bisa menjual hasil panen kakao mereka menjadi sumber ekonomi warga desa.

Batu Bara

Pertambangan batu bara yang hadir di Provinsi Jambi, dari analisis sentinel menunjukkan lahan terbuka. Dari analisis yang dilakukan, terdapat 10.332 ha kawasan tambang terbuka batu bara yang bisa dilihat langsung.

Dari angka ini, bisa dibayangkan konflik sosial dan ekologi akibat penambangan batubara ini. Tambang batubara harusnya menjadi perhatian serius pemerintah, karena sebagian besar lahan terbuka batubara belum direklamasi dan dipulihkan fungsinya.  “Ini penting dilakukan untuk memulihkan ekologi pasca tambang,” kata Adi Junedi.

Secara sosial, pengangkutan hasil tambang  telah banyak berimplikasi pada kehidupan masyarakat lain.  Ini timbul karena angkutan batubara masih melewati jalan umum yang dilalui masyarakat.  Warsi menghimbau pemerintah daerah menekan pengusaha batubara untuk tidak menggunakan jalur transportasi umum, mereka harus melewati jalan khusus yang dibuat oleh perusahaan, bukan menggunakan dana publik.

“Alternatif lainnya batubara bisa menggunakan jalur sungai,’ Kata Adi Junedi.

Dikatakan Adi Junedi, pemulihan ekologi harus dilakukan oleh semua pihak. Pemerintah dengan regulasi dan kemudian mengawasi jalannya regulasi untuk pemulihan ekologi. Ini penting menjadi perhatian kita bersama, mengingat Indonesia juga berkomitmen menurunkan emisi dari berbagai sektor termasuk tata guna lahan dan menetapkan Net Zero Emission tahun 2060.

Pemerintah harus memastikan, perusahaan harus menerapkan prinsip Environmental, Social dan Governance (ESG) dalam menjalankan dan memulai bisnisnya. Prinsip ini penting untuk memastikan kelompok usaha menjalankan usahanya dengan kaidah-kaidah yang mendorong kelangsungan sumber daya alam secara berkelanjutan melalui tata kelola usaha yang baik dan benar serta secara sosial diterima masyarakat disekitarnya.

Selain itu, pemerintah kita juga berkomitmen menerapkan Indonesia’s FOLU,  Forest and Other Land Use, (pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) Net Sink 2030, dimana kemampuan hutan seimbang antara serapan dengan emisi yang dikeluarkan. Dalam rancangan yang dibuat, dan kini tengah disosialisasikan ke pemangku kebijakan di daerah, Indonesia berencana untuk tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030. Untuk mencapai ini harus dilakukan dengan managemen pengelolaan hutan berkelanjutan, tata kelola lingkungan dan tata kelola karbon. Tahun 2030 itu hanya 8 tahun dari sekarang, jadi pemerintah harus segera meninjau tata kelola kehutanan yang sudah berjalan. “Jika kita memang berkomitmen untuk mencapai FOLU net Sink ini, tentunya semua kegiatan operasional perusahaan yang belum ramah lingkungan harus segera ditinjau ulang,” kata Adi Junedi.

Dengan catatan pengelolaan sumber daya alam yang masih terjadi ini, memperlihatkan ke kita, bahwa masih harus bekerja keras guna mencapai tujuan bersama menyelamatkan bumi dari krisis iklim.