“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Begitulah bunyi Pasal 31 ayat (1) di Konstitusi Indonesia. Untuk komunitas adat tertentu, pendidikan yang berdasarkan kurikulum merupakan sesuatu hal yang baru dan bahkan dianggap mengancam oleh mereka. Pendidikan merupakan salah satu bentuk intervensi budaya yang datang dari dunia luar sehingga butuh waktu, penyesuaian, serta pendampingan untuk masuk ke komunitas adat tersebut. Seperti yang dialami Orang Rimba. Orang Rimba yang terbiasa hidup di hutan tentu saja memiliki permasalahan sendiri untuk mengakses pendidikan formal. Bukan hanya soal jarak, cara belajar, kadang juga menjadi halangan Orang Rimba untuk memperoleh pendidikan formal. Maka dari itu diperlukan solusi lain untuk memberikan akses pendidikan untuk Orang Rimba, yang dilakukan KKI Warsi dengan memberikan pendidikan alternatif non-formal.
Sejak 1998 lalu, Warsi memberikan pendidikan baca tulis dan hitung untuk Orang Rimba. Caranya dengan mengunjungi kelompok-kelompok Orang Rimba. Tanpa ada waktu yang ditentukan, dan tentu tidak mengacu pada kurikulum nasional. Yang ada hanya semacam silabus untuk menentukan perpindahan pendidikan dari satu materi ke materi berikutnya. Tidak juga terikat aturan, anak-anak dengan berbagai usia bisa belajar materi yang sama, jika memang pemahamannya masih di materi itu. Pun atribut dan aturan lainnya hanya berdasarkan kesepakatan pendidik dengan murid-muridnya. Ketika ada anak-anak yang sudah mulai lancar materi yang diajarkan, dalam arti pintar membaca, menulis dan berhitung tidak sedikit yang mengungkapkan cita-cita. Ingin jadi polisi, jadi tentara, jadi guru, jadi bidan dan lainnya. Semua cita-cita itu hanya bisa dicapai kalau anak-anak rimba mendapatkan pendidikan formal yang diakui negara. Hingga pada tahun 2004 mulai dijembatani anak-anak rimba untuk masuk ke sistem pendidikan formal. Dengan cara kelas jauh atau gabung di sekolah satu atap. Hasilnya ada sejumlah anak yang mendapatkan ijazah dan lanjut ke tingkat pendidikan berikutnya.
Namun banyak juga anak-anak ini yang tidak sanggup untuk sekolah formal dan akhirnya putus. Ada yang menikah, ada yang memang tidak mampu mengikuti irama sekolah formal dan kendala lainnya. Lantas apa solusinya? Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). PKBM merupakan salah satu bentuk tempat pembelajaran nonformal dan memiliki payung hukum yang jelas. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 100 ayat (2) menyebutkan bahwa PKBM merupakan salah satu satuan pendidikan nonformal yang diakui oleh negara. Hal ini menandakan dengan payung hukum yang kuat dan berupa undang-undang, posisi PKBM diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk satuan pendidikan yang berbasis masyarakat. Di dalam pasal 105 ayat (1), PKBM dapat membuat program pendidikan yang dapat disesuaikan degan kebutuhan masyarakat yang ada di daerah tersebut. Sehingga pendidikan yang didapat diharapkan bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu program penghapusan buta aksara, pendidikan keterampilan hingga ke pendidikan kecakapan hidup.
KKI Warsi sejak akhir 2019 lalu berinisiatif untuk mengembangkan pendidikan nonformal untuk Orang Rimba yang ada di bagian selatan Taman Nasional Bukit Duabelas dengan melalui PKBM. PKBM yang diberi nama Bunga Kembang ini telah melakukan kegiatan belajar mengajar sejak Oktober 2019 lalu. Jauharul Maknun, fasilitator pendidikan KKI Warsi untuk Orang Rimba mengatakan bahwa PKBM ini awalnya didirikan sebagai wadah pengembangan usaha dari kerajinan Orang Rimba. “Awalnya kita memang ingin fokus ke pengembangan kerajinan dari anak-anak rimba yang memanfaatkan bahan baku yang ada di alam sekitar di komunitas Orang Rimba” Ujarnya.
Namun dalam perjalanan mendirikannya, diperlukan banyak pihak yang terlibat terkait dengan pembentukan PKBM sesuai dengan aturan undang-undang dan kementrian pendidikan, mulai dari pemerintah desa, masyarakat sekitar desa, hingga dinas terkait harus mengetahui tentang pembentukan satuan pendidikan nonformal ini. Banyak saran yang diterima oleh KKI Warsi terkait dengan pembentukan PKBM Bunga Kembang. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa selain Orang Rimba, banyak masyarakat di sekitar desa yang masih belum menyentuh pendidikan formal, entah itu karena terkendala biaya ataupun berbagai permasalahan lainnya. Maka dari itu disarankan untuk memasukkan program kesetaraan selain dari program yang direncanakan sebelumnya. “Jadi dengan adanya saran itu, kita setuju untuk menambahkan program kesetaraan dalam pembentukannya. Sehingga PKBM ini bisa menjadi wadah untuk meningkatkan mutu pendidikan untuk Orang Rimba dan masyarakat desa” tambah Maknun.
Saat ini, PKBM Bunga Kembang memiliki dua program, program keaksaraan fungsional dan program usaha produktif. Namun ke depannya juga difokuskan untuk program kesetaraan. Untuk Orang Rimba, KKI Warsi mendorong program kesetaraan untuk Paket A karena memang kebanyakan Orang Rimba di selatan TNBD tidak mengikuti pendidikan sejak awal, sehingga perlu didorong untuk program kesetaraan Paket A. sedangkan untuk masyarakat desa PKBM ini mengedepankan program kesetaraan untuk Paket B dan Paket C.
Yohana Marpaung, Fasilitator Pendidikan KKI Warsi yang bekerja bersama Maknun, mengatakan, dalam membuat program kesetaraan, diperlukan tutor – tutor yang memang ahli di bidangnya, maka dari itu PKBM ini melakukan kerja sama dengan beberapa guru sekolah yang ada di sekitar desa. Untuk tutor program kesetaraan Paket A, B, dan C, PKBM Bunga Kembang melakukan kerja sama dengan beberapa guru SDN 163 Bukit Suban, kemudian SMPN 12 Sarolangun, dan SMKN 8 Sarolangun. “Kita memang sudah melakukan koordinasi dengan guru yang ada di sekolah – sekolah tersebut untuk menjadi tutor di PKBM Bunga Kembang. Misalnya ada Pak Wawan Ngafuan dari SDN 163 untuk program kesetaraan paket A, Ibu Fifin Priastami dari SMPN 12 untuk program kesetaraan paket B, dan Pak Irawan dari SMKN 8 untuk program kesetaraan paket C” Ujarnya.
PKBM ini memang masih dalam tahap pembentukan dan pengajuan ke kementrian terkait dengan program kesetaraan. Terdapat beberapa prasyarat yang harus dilengkapi sebelum diajukan ke kementrian, misalnya saja terkait dengan data murid PKBM. Kebanyakan dari anak – anak rimba tidak memiliki akta kelahiran ataupun terdaftar di kartu keluarga. Sedangkan persyaratan yang harus dipenuhi biasanya terkait dengan data kependudukan. Data tersebut, menurut aturan yang berlaku, diperlukan untuk mengeluarkan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) agar memang terdaftar di data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sehingga ijazah yang dikeluarkan memiliki kekuatan hukum.
“Seharusnya kita akan mulai untuk melengkapi persyaratan tersebut agar program kesetaraan ini bisa berjalan secepatnya, namun karena pandemi Covid-19 yang saat ini terjadi, semuanya harus ditunda dulu karena kekhawatiran terpapar virus jika keluar – masuk wilayah desa” ujar Maknun. Hingga saat ini terdapat 40 peserta didik yang terdaftar di PKBM Bunga Kembang untuk program keaksaraan fungsional dan program usaha produktif, namun belum untuk program kesetaraan.
Selain PKBM Bunga Kembang yang ada di Selatan TNBD ini, KKI Warsi juga mendorong pembentukan PKBM yang ada di Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, dan bekerja sama dengan guru-guru dan sekolah yang ada di sana untuk menjadi tutor. Namun prosesnya belum begitu jauh, karena banyak berkas serta persyaratan yang belum terpenuhi dan juga terkendala akibat pandemi Covid-19.
PKBM hanya merupakan salah satu alternatif akses pendidikan untuk Orang Rimba. Dengan adanya alternatif pendidikan nonformal yang diberikan kepada Orang Rimba, tentu harapan agar akses pendidikan dapat menyentuh mereka secara keseluruhan dapat tercapai. Terlebih bagi kebanyakan Orang Rimba yang terkendala waktu serta jarak untuk mengikuti pendidikan formal, PKBM ini dapat menjadi alternatif karena jadwal pendidikannya bisa menyesuaikan antara tutor dan muridnya. Hal ini tentu baik, karena pendidikan yang merupakan hak dasar warga negara Indonesia, dapat terpenuhi, khususnya untuk Orang Rimba. (Wahyu Priyanto)