Catatan Akhir Tahun Warsi 2022

Tutupan hutan di Sumatera Barat mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Berdasarkan analisis Citra Sentinel II yang dilakukan oleh tim Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Sumbar kehilangan 27.447 ha atau 1,5% hutan sepanjang tahun 2022 total luasan tutupan hutan 1.744.549 ha pada tahun 2021.

Penurunan tutupan hutan di Sumbar disebabkan oleh banyak faktor. dari pantauan sentinel kehilangan hutan terjadi di areal yang dibuka untuk perladangan dalam skala kecil di banyak tempat. Selain itu juga ada indikasi kegiatan ilegal dalam kawasan hutan seperti untuk pertambangan emas tanpa izin. Aktivitas illegal seperti Pertambangan Emas Ilegal (PETI) terpantau di 4 Kabupaten Dharmasraya seluas 2.179 ha, Solok 1.330, Solok Selatan 2.939, dan Sijunjung 1.174 ha. Tambang emas ilegal biasanya terjadi di sungai utama atau pun sungai kecil dalam kawasan Area Penggunaan Lain (APL), hutan produksi, dan hutan lindung.

“Perlu adanya komitmen yang kuat untuk menanggulangi tindakan ilegal yang mengakibatkan kehilangan tutupan hutan diperlukan komitmen pemerintah untuk melakukan kegiatan-kegiatan  untuk memulihkan hutan dan menahan laju deforestasi,” kata Wakil Direktur  KKI Warsi  Rainal Daus. 

Menahan laju deforestasi merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia untuk memenuhi target penurunan emisi. Sebagaimana dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89% di tahun 2030 dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan bantuan internasional. Selain itu, pemerintah kita juga berkomitmen menerapkan Indonesia’s FOLU,  Forest and Other Land Use, (pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) Net Sink 2030, dimana kemampuan hutan seimbang antara serapan dengan emisi yang dikeluarkan. Dalam rancangan yang dibuat, dan kini tengah disosialisasikan ke pemangku kebijakan di daerah, Indonesia berencana untuk tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030. Untuk mencapai ini harus dilakukan dengan manajemen pengelolaan hutan berkelanjutan, tata kelola lingkungan dan tata kelola karbon. Tahun 2030 itu hanya 8 tahun dari sekarang, jadi pemerintah harus segera meninjau tata kelola kehutanan yang sudah berjalan. Target penurunan emisi ini dapat dicapai dengan menjaga kawasan tutupan hutan. Sebab hutan memiliki kemampuan penyerapan sehingga dapat menurunkan target emisi.

Hutan sejatinya bukan hanya tegakan kayu. Pengembangan ekonomi bisa berjalan tanpa merusak hutan. Hutan merupakan potensi yang sumber daya alam yang bisa bernilai ekonomi tinggi. Ada banyak keragaman jasa lingkungan yang bernilai ekonomi. “Ada Imbal jasa karbon di hutan alam, fundraising melalui program adopsi pohon, ekowisata, imbal jasa air, pengembangan commodity agroforest, produk kompos,  dan madu,” kata Rainal.

Pengembangan potensi ini akan mendukung kehidupan masyarakat nagari di Sumatera Barat, Berdasarkan data BPS tahun 2020 terdapat 950 nagari yang berada dalam kawasan hutan, dengan rincian 365 nagari berada di hutan konservasi, 305 nagari di hutan lindung dan 280 nagari di hutan produksi. Artinya, masyarakat Sumbar tidak lepas dari hutan dan menggantungkan hidup pada hutan. Namun, perlu adanya perubahan pandangan di masyarakat. Jika selama ini masyarakat melihat hutan untuk dijadikan kebun, bisa dengan pengelolaan hutan secara modern melalui pengembangan imbal jasa lingkungan atau Payment for ecosystem services (PES). Serta pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

Tutupan hutan menumbuhkan ekonomi

Menjaga tutupan hutan adalah upaya meraih manfaat ekologi bagi masyarakat, seperti ketersedian air bersih, lingkungan yang sejuk, dan terhindar dari bencana alam. Namun, menjaga tutupan hutan juga bernilai ekonomi. Seperti yang dirasakan oleh masyarakat di lanskap Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Kondisi zero deforestasi di area Perhutanan Sosial kelola masyarakat mendatangkan manfaat ekonomi melalui skema imbal jasa lingkungan. Bujang Raba terdaftar ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo. Dari perhitungan KKI Warsi pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton C/hektare atau 1,052 ton CO2 e/hektare. Melalui skema ini masyarakat mendapatkan dana yang difungsikan membiayai kegiatan sosial seperti khitanan, menjadi bantuan langsung tunai (BLT) ketika pandemi, dan membiayai kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan.

“Praktik baik dari pengalaman ini juga menjadi peluang bagi hutan yang dikelola oleh masyarakat di Sumatera Barat,” kata Rainal.

Melalui kajian yang dilakukan oleh KKI Warsi di Lanskap Lunang Silaut Pesisir Selatan, penghitungan potensi cadangan karbon di zona lindung di 3 hutan nagari memungkinkan untuk meraih skema imbal jasa karbon. Diketahui dari total luas area lindung seluas 2.040 ha memiliki nilai karbon benefit sebesar 377.591 tco2eq atau sebesar 102.886 ton karbon.

“Nilai karbon ini memiliki potensi dengan perkiraan sebesar 6 dollar per ton per hektar di pasar karbon sukarela. Dengan begitu, tutupan hutan memiliki nilai ekonomi kepada masyarakat yang mengelolanya” ungkap

Sementara itu, potensi sumber daya alam di wilayah Hutan Nagari, Hutan Adat, Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Sumatera Barat yang dapat dikembangkan dan sangat beragam, potensi air untuk sumber energi, air minum, dan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang berupa madu, aren, rotan, dan ekowisata. Potensi ini dapat dikembangkan sehingga mendatangkan manfaat ekonomi tanpa harus menebang pohon atau kayu.