Tanggal 5 Juni setiap tahunnya, masyarakat internasional secara serentak memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Melihat sejarah dari lahirnya Hari Lingkungan Hidup Sedunia, tentu kita tak bisa lepas dari diadakannya Konferensi Stockholm yang diadakan pada tanggal 5-16 Juni tahun 1972 silam. Saat itu masyarakat internasional sadar akan pentingnya melakukan pembangunan yang juga berorientasi pada lingkungan dan tidak semata-mata memanfaatkan lingkungan tanpa mengetahui ataupun memedulikan dampak yang akan terjadi terhadap lingkungan. Orientasi pun berubah, lingkungan dijadikan prioritas utama terhadap pembangunan. Hal itu tertuang di dalam hasil dari konferensi tersebut dan diabadikan dalam Deklarasi Stockholm. Total 26 poin yang terdapat di deklarasi tersebut menyiratkan bahwa negara-negara di dunia pada saat itu mulai sadar akan pentingnya membangun negara-negaranya dengan memperhatikan aspek lingkungan.
Komitmen negara-negara di dunia pun semakin kuat. Hal itu ditandai dengan diadakannya berbagai konferensi tingkat tinggi beberapa dekade ke depan. Misalnya saja diadakannya Konferensi Nairobi, KTT Bumi di Rio de Jeneiro, hingga World Summit On Suistainable Development (WSSD) yang di adakan di Johannesburg. Berbagai prinsip serta agenda pun lahir dengan tujuan untuk memperbaiki serta menjaga lingkungan. Indonesia termasuk salah satu negara yang turut meratifikasi hasil-hasil dari konferensi tersebut. Hal itu menjadikan Indonesia dalam melakukan pembangunannya harus berorientasi pada lingkungan. Tantangan besar pun dihadapi Indonesia untuk memperbaiki serta mempertahankan lingkungan hidup yang ada agar tidak rusak dan memberikan dampak yang buruk untuk kehidupan.
Berbicara mengenai lingkungan hidup, tentu saja akan ada begitu banyak aspek yang dapat didiskusikan serta dikupas lebih mendalam. Tetapi dunia internasional saat ini dihadapkan oleh permasalahan yang sama, yaitu ancaman pemanasan global yang akan berakibat daripada perubahan iklim. Pemanasan global tersebut mengakibatkan peningkatan suhu di seluruh dunia, perubahan cuaca, meningkatnya suhu air laut hingga mencairnya es yang ada di kutub sana. Hal itu merupakan pertanda yang sangat jelas tentang seberapa bahayanya perubahan iklim bagi kelangsungan makhluk hidup di bumi.
Emisi gas rumah kaca yang menjadi permasalahan utama terhadap perubahan iklim dan kemudian secara pasti akan berdampak untuk lingkungan hidup, menjadi suatu ancaman yang nyata bagi eksistensi kehidupan di muka bumi. Mulai dari polusi akibat aktivitas manusia seperti asap kendaraan hingga industri yang tidak memperhatikan baku mutu lingkungan yang ditetapkan oleh otoritas terkait dapat menjadi penyebab utama dalam hal perubahan iklim.
Hutan merupakan salah satu komponen di dalam lingkungan hidup. Kawasan hutan yang seharusnya dapat meminimalisir efek dari gas rumah kaca seperti tak berdaya untuk dapat mengurangi dampak yang terjadi. Keberadaan pohon yang ada di kawasan hutan sebenarnya diharapkan dapat mengikat gas rumah kaca yang ada di udara, sehingga tidak lepas ke atmosfer yang akan membuat lapisan ozon menipis dan mengakibatkan pemanasan global dan berujung pada perubahan iklim. Hal tersebut dikarenakan kawasan hutan yang seharusnya dijaga untuk menjaga bumi –yang salah satunya menjaga bumi dari pemanasan global dan perubahan iklim, terus berkurang setiap tahunnya akibat dari industri serta pembangunan yang tidak mengedepankan lingkungan hidup tadi.
Di Indonesia saja, kawasan hutan hingga tahun 2017 lalu berkisar di angka 125.922.474 ha (KLHK, 2017), padahal pada tahun 2015 lalu jumlah luas tutupan hutan di Indonesia masih berkisar di angka 128 Juta ha (beritagar, 2018). Lebih dari 2 Juta hektar luas tutupan hutan menghilang pada periode 2015-2017 lalu. Mengingat hutan yang memiliki peran kunci untuk meminimalisir terjadinya pemanasan global, maka seharusnya keberadaan hutan harus menjadi perhatian utama bagi negara-negara yang masih memiliki kawasan hutan yang luas, seperti Indonesia.
Hutan di Indonesia memiliki peranan penting untuk mencegah perubahan iklim di dunia. Indonesia memiliki jumlah luas tutupan hutan terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo. Tetapi, Indonesia juga merupakan salah satu negara perusak hutan terbesar di dunia (Tempo, 2016) yang malah dapat meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di udara semakin tinggi akibat dari proses pembukaan lahan di hutan tersebut.
Jika berbicara mengenai hutan, tentu sangat banyak permasalahan serta tantangan yang akan dihadapi kedepannya. Tapi kesadaran dari semua pihak sangat penting untuk menjaga kelestarian hutan sehingga dapat meminimalisir dampak dari pemanasan global. Terdapat satu program yang berkaitan dengan hutan dengan fokus untuk melakukan upaya dalam perubahan iklim, yaitu program REDD+. Program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, role of conservation, sustainable management of forest and enhancement of forest carbon stocks in developing countries) merupakan upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan stok carbon hutan dengan menggunakan pendekatan nasional dan implementasi di sub nasional. Hutan Indonesia memegang peran strategis dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sehingga menjadikan Indonesia sangat berkepentingan dengan REDD+. Indonesia merupakan salah satu negara REDD+ yang telah aktif berperan dalam negosiasi terkait hutan dan REDD+. Kegiatan REDD+ merupakan aksi yang dapat diukur atau hasilnya dinyatakan sebagai pengurangan atau penghindaran emisi/peningkatan stok karbon (Website Ditjen PPI KLHK).
Angka deforestasi yang terus tinggi setiap tahunnya, merupakan suatu ancaman tersendiri bagi perubahan iklim, dan perubahan iklim tersebut juga merupakan ancaman tersendiri bagi lingkungan hidup dan bahkan kehidupan itu sendiri. Sebelumnya memang pemerintah melalui Kementrian Lingkunga Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah berkomitmen untuk mengurangi 29% emisi gas rumah kaca yang 17% dari 29% tersebut diharapkan di dapat dari sektor kehutanan dengan cara melakukan rehabilitasi lahan serta menekan angka deforestasi menjadi 325.000 ha pertahun hingga tahun 2030 mendatang yang digunakan untuk alasan pembangunan (Workshop Nasional KKI WARSI, 2019). Berarti, hingga tahun 2030 sekitar lebih dari 3 juta ha lahan hutan akan tetap hilang
Dengan potensi hilangnya luas tutupan hutan demi pembangunan, diharapkan tetap mengacu pada pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Menurut UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan memiliki arti sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Hal tersebut harus terus dicamkan oleh para pihak agar tidak menghilangkan fungsi hutan itu sendiri dan melakukan pembangunan yang berbasis kepada lingkungan.
Hutan yang menjadi harapan untuk meminimalisir dampak dari pemanasan global diharapkan akan terus menjadi perhatian utama bagi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Pembangunan yang dilakukan jika bersentuhan dengan kawasan hutan pun sebaiknya tetap berorientasi pada lingkungan dan harus berkelanjutan. Jangan sampai akibat dari tidak seriusnya semua pihak dalam melihat isu hutan sebagai faktor kunci dalam pengendalian pemanasan global, malah akan berdampak pada kehidupan kita serta anak cucu kita kelak. Pemanasan global merupakan ancaman utama bagi lingkungan hidup, dan hutan juga merupakan salah satu komponen di dalam lingkungan hidup. Dengan kita menjaga satu komponen itu, maka kita sudah menjaga lingkungan hidup itu sendiri dengan segala kompleksifitas serta keindahan yang ada di dalamnya. Selamat Hari Lingkungan Hidup.(Wahyu Priyanto)