Manusia sangat bergantung dengan keadaan alam yang ada di sekitarnya. Pengelolaan, pelestarian serta penjagaan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab setiap manusia. Diperlukan perencanaan serta sumber daya yang mencukupi agar lingkungan tidak rusak dan bencana ekologi dapat dikendalikan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengalokasikan anggaran kepada sektor lingkungan agar dapat terus lestari.
Dalam webinar dengan tema ‘Pengembangan Insentif Fiskal Berbasis Ekologi’ yang diadakan oleh KKI Warsi yang bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jambi diketahui ada skema tersendiri terkait dengan insentif bagi pemulihan serta penjagaan lingkungan atau ekologi. Hal itu didasarkan bahwa saat ini alokasi untuk pengelolaan ekologi ataupun lingkungan hidup masih kecil.
“Dalam APBN, aspek lingkungan hidup menempati posisi ke delapan dengan angka 0,8% dari alokasi anggaran oleh pemerintah pusat,”kata Joko Tri Haryanto Kepala Badan Kebijakan Fiskan Kementrian Keuangan RI yang hadir sebagai nara sumber dalam acara webinar ini.
Dengan posisi ini. Anggaran lingkungan terbilang kecil jika dibandingkan dengan upaya pelestarian dan pengendalian kerusakan lingkungan di tanah air. Kondisi ini juga akan membuat upaya untuk mencapai komitmen Indonesia terlibat dalam upaya penurunan emisi karbon akan berjalan dengan lambat.
Untuk itu, menurut Tri, ada peluang melalui skema insentif atau yang bisa disebut sebagai Ecological Fiscal Transfer (EFT) atau bisa disebut juga transfer anggaran berbasis ekologi. Kebijakan EDT ini merupakan instrument yang digunakan oleh pemerintah untuk mendukung secara langsung pembiayaan kelestarian lingkungan, khususnya hutan hujan tropis dan keanekaragaman hayati.
Kebijakan ini masih belum begitu dikenal oleh masyarakat luas dan masih dikembangkan dan dibahas secara mendalam oleh pemerintah pusat. Namun sudah mulai diaplikasikan oleh sejumlah pemerintah daerah, misalnya Sigi di Aceh, Nunukan Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan.
Skema ini terbagi ke dalam 3 macam. Pertama Transfer Anggaran Provinsi Berbasi Ekologi (TAPE), Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE), serta Transfer Anggaran Nasional Berbasis Ekologi (TANE). Hal ini dimaksudkan agar lingkungan hidup dapat memiliki alokasi anggaran yang lebih besar tetapi tidak memberikan beban baru terkait penambahan anggaran.
“Prinsipnya adalah relokasi anggaran, sehingga tidak menambah beban APBN lebih jauh lagi. Skema ini juga dapat diartikan sebagai transfer fiskal dari pemerintah yang lebih tinggi (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) kepada pemerintah di bawahnya (provinsi, kabupaten/kota, dan desa) dalam jurisdiksi yang sama berdasarkan kewenangan dan kinerja dalam perlindungan dan pengelolaan kehutanan dan lingkungan hidup,”kata R Alam Surya Putra dari The Asia Foundation yang selama ini mendampingi pengembangan inisiatif EFC di Indonesia.
Disebutkan Alam, skema pemerintah pusat untuk kebijakan TANE penting dikembangkan sebagai instrumen baru untuk mendorong pemerintah dibawahnya, naik itu provinsi dan kabupaten/kota, untuk meningkatkan kinerjanya dalam pengelolaan lingkungan hidup memalui berbagai macam skema pembiayaan, entah itu melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA), hingga Dana Perlindungan Lingkungan Hidup (DPLH) ataupun melalui skema pembiayaan lain.
Transfer anggaran dapat dimaksudkan untuk menunjang kegiatan terkait dengan lingkungan hidup, dari sektor kehutanan, pengelolaan sampah, hingga masalah ekologi yang lebih kompleks lagi terkait dengan perubahan iklim. “Misalnya saja pengelolaan dalam bidang kehutanan. Pengelolaan urusan kehutanan dan lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah dibawahnya, baik itu pemerintahan provinsi, kabupaten dan desa, agar keberadan hutan dan lingkungan hidup dapat terjaga dengan maksimal,”kata Alam.
Untuk mengaplikasikannya skema TAPE dan TAKE memerlukan dasar hukum yang kuat. Peraturan Gubernur ataupun Peraturan Bupati/Walikota dapat mendorong berjalannya transfer insentif melalui skema tersebut. bagaimana realokasi anggaran serta peruntukannya dapat dijelaskan secara matang melalui Pergub atau Perbup/Perwalko agar dapat sesuai dengan kebutuhan dari setiap daerah.
Daerah memiliki peranan kunci dalam hal perlindungan serta rehabilitaasi lingkungan hidup. Penerapan EFT dapat dijadikan sebagai manisfestasi komitmen pemerintah daerah terhadap perlindungan hutan, lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Permasalahan yang biasanya di hadapi daerah adalah karenan kekurangan anggaran yang dikhususkan untuk pengelolaan lingkungan hidup, khususnya kehutanan. Apalagi untuk pemerintahan kabupaten/kota, sektor kehutanan telah diambil alih oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sehingga anggaran untuk sector kehutanan tidak dimiliki oleh kabupaten/kota. Dalam skema TAKE sendiri, realokasi anggaran dapat dilakukan melalui dana desa yang di transfer oleh pemerintah kabupaten/kota sehingga dapat mendorong desa untuk mengalokasikan anggarannya untuk pemulihan serta penjagaan lingkungan hidup.
Skema TANE, TAPE dan TAKE akan memperkuat peran pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dalam melakukan supervisi dan pendampingan kepada pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan desa dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan alokasi anggaran memang diberikan oleh pemerintah diatasnya yang kemudian pemerintah yang berada dibawahnya akan bertanggungjawab tehadap penggunaan anggaran yang telah diberikan tersebut.
Indonesia sendiri sebelumnya telah berkomitmen hingga tahun 2030 akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri serta 41% jika mendapat bantuan dari dunia internasional. Target yang tinggi tersebut tentu saja memerlukan sumber daya yang sangat besar terkait dengan anggaran dan kesanggupan mulai dari pusat hingga daerah dan bahkan di tingkat tapak. Dengan menggunakan skema EFT juga akan berdampak baik bagi karbon. Hal ini terjadi karena dengan dikelolanya lingkungan hidup, terutama hutan, dengan baik, maka penyerapan emisi karbon di udara dapat meningkat dengan signifikan karena hutan dapat terjaga dengan baik.
Pengelolaan lingkungan hidup di tingkat daerah sebenarnya memiliki cukup banyak hambatan terkait dengan pembiayaan, sehingga terobosan atau inovasi ini membuka peluang baru skema pembiayaan dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan hidup menjadi lebih baik. Hal ini tentu masuk akal karena anggaran untuk menjalankannya memang telah ada dan dialokasikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah. Dukungan pemerintah pusat terhadap inovasi skema ini sangat diperlukan agar daerah-daerah lain terpacu untuk menerapkan gagasan serupa. Selain itu, skema ini juga perlu diintegritaskan ke dalam kebijakan pusat mengenai pengelolaan keuangan daerah dan transfer pusat ke daerah.
Sebenarnya beberapa daerah telah berhasil menerapkan skema tersebut. Misalnya saja Provinsi Sulawesi Selatan yang telah berhasil melakukan skema transfer keuangan dari pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota berdasarkan kinerja dalam pengelolaan lingkungan hidup. Namun itu semua kembali kepada komitmen dari pemerintah pusat maupun daerah. Karena skema ini baru dpat dijalankan jika dasar hukum terkait dengan realokasi anggaran dibuat oleh pimpinan daerah masing-masing.
Yusran Yusuf Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin yang juga ketua Bappeda Sulsel menyebutkan, skema TAPE telah dijalankan sebagai instrumen bantuan keuangan provinsi ke kabupaten/kota sebagai “reward” atas kinerja dalam menjaga kelestarian hutan dan lingkungan. “Skema ini juga dijalankan sebagai tindak lanjut MOU antara Gubernur Sulsel dengan Menteri PPN/Bappenas dan komitmen Pemerintah Prov. Sulsel dalam mendukung Pembangunan Rendah Karbon yang merupakan MOU Pembangunan Rendah Karbon Pertama di Indonesia,”sebutnya.
Disebutkan skema TAPE juga dapat membantu pencapaian target dan indikator terkait lingkungan hidup yang telah ditetapkan di dalam RPJMD Sulawesi Selatan Tahun 2018-2023.
Ketua Bappeda Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara Juni Mardiyansyah menyebutkan pemerintah kabupaten mengalokasikan 10% dari DAUdan DBH menjadi ADD. Kabupaten Nunukan mengaplikasikan skema TAKE melalui Peraturan Bupati Nomor 59 tahun 2019. Alokasi dana dibagi ke dalam empat bagian, yang pertama alokasi merata sebesar 70% yang dibagi merata untuk setiap desa, alokasi proporsional sesuai dengan jumlah penduduk dan alokasi desa serta alokasi afirmatif sebanyak 2,5% anggaran program ekologi dalam APBDes serta alokasi berdasarkan kinerja sebesar 5% berdasarkan perubahan sosial ekonomi dan lingkungan. Untuk dua alokasi terakhir dilakukan dengan menggunakan skema TAKE dalam pengalokasiannya.
Dari Webinar ini, Warsi berharap skema ini juga bisa dikembangkan di Provinsi Jambi. Karena Jambi sudah memiliki sejumlah alokasi pengelolaan sumber daya hutan yang berbasis ekologi dan sangat penting untuk mendapat alokasi anggaran.