Luasan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Jambi terus bertambah. Di Tanjung Jabung Barat, kebakaran terpantau di Desa Pematang Buluh, Kecamatan Betara. Berdasarkan analisis citra satelit Sentinel2 oleh Divisi GIS KKI Warsi, tangkapan tanggal 27 Agustus 2024, terindikasi 120 ha lahan milik dua perusahaan perkebunan sawit di lahan gambut dengan kedalaman 2-3 meter telah terbakar.
Sebelumnya kebakaran dalam areal yang luas juga terpantau di tiga desa di Kecamatan Kumpe Muara Jambi, yaitu , Rantau Panjang, Rondang dan Londrang. Kebakaran di kawasan ini telah menghanguskan areal seluas 927 ha ha. Kawasan yang terbakar ini berada di areal gambut dengan kedalaman 1-2 meter.
Sejak pengamatan dan analisis karhutla dilakukan Juli lalu, total sudah 1.879 ha hutan dan lahan di Provinsi Jambi sudah terbakar. Kebakaran yang menghanguskan hutan dan lahan di Provinsi Jambi kemungkinan besar masih terus berlanjut. Hal ini terindikasi dari titik api yang terus bermunculan di sejumlah wilayah. “Kita berharap tim yang sedang bertugas mengendalikan kebakaran dapat bekerja dengan baik,” kata Sukmareni Koordinator Divisi Komunikasi KKI Warsi.
Menurutnya kebakaran di lahan gambut relatif lebih sulit untuk dikembalikan karena gambut terdiri dari lapisan bahan organik yang tebal. Lahan gambut sejatinya merupakan lahan basah, namun karena dipaksa untuk bisa ditanami dengan tanaman bukan endemik gambut, terbitlah kanal-kanal untuk mengeringkan gambut. “Disinilah masalahnya, gambut yang kehilangan air, menjadikan material organiknya sangat mudah terbakar dan apinya bisa menyebar di bawah permukaan, membuatnya sulit dideteksi dan dipadamkan, “kata Reni.
Selain itu, kebakaran gambut sulit terdeteksi karena yang terbakar bukan hanya bagian permukaan namun juga di lapisan bawah tanah yang sulit dijangkau. Ini membuat api terus menyala meskipun sudah dilakukan pemadaman di permukaan. “Kondisi ini didukung dengan kandungan karbon yang tinggi dan bisa menyimpan air dalam jumlah besar. Ketika air menguap, karbon kering menjadi bahan bakar yang sempurna untuk api, membuat kebakaran terus berlangsung dan sulit padam,”kata Reni.
Untuk itu, menurut Reni penting untuk mengembalikan gambut ke fungsinya. Secara ekologi gambut menyimpan karbon dalam jumlah besar, membantu mengurangi emisi gas rumah kaca. Ini berfungsi sebagai penyerap karbon alami. “Jadi gambut sangat penting dalam upaya mitigasi dampak perubahan iklim,”kata Reni.
Selain itu gambut merupakan ekosistem yang menjadi habitat bagi banyak spesies endemik dan langka, termasuk harimau Sumatera, orangutan, dan berbagai jenis burung dan tanaman unik. Keberadaan flora fauna ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem. “Secara hidrologi gambut berfungsi seperti spons, menyerap air selama musim hujan dan melepaskannya secara perlahan selama musim kemarau, membantu mengurangi banjir dan kekeringan, “kata Reni.
Untuk itu kata Reni, pengelolaan lahan gambut yang bijaksana sangat penting untuk menjaga keseimbangan fungsi-fungsi ini, sehingga dapat mendukung keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. “Kebakaran yang terjadi menandakan ada kekeliruan dalam tata kelola, sehingga ke depan harus dilakukan perbaikan, dan mengelola gambut menjadi lebih baik dan memberikan penghargaan terhadap kawasan yang memegang peranan penting dalam kehidupan. Karena kebakaran yang terjadi bukan hanya mengancam kesehatan dan lingkungan, tetapi juga masa depan kita semua,” pangkas Reni.