Kementrian Sosial menyerahkan bantuan sosial tunai (BSM) senilai Rp 2,4 M kepada 1.372 Orang Rimba, Batin Sembilan dan Talang Mamak yang tersebar dalam Provinsi Jambi. Penyerahan bantuan yang berlangsung Jumat-Senin (17-20 Juli 2020) ini, sebagai respon atas dampak pandemi covid 19 yang juga mendera komunitas yang tinggal di dalam hutan, perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Suku adat marginal di Provinsi Jambi ini umumnya hidup bergantung dengan alam, dari hasil berburu dan meramu hutan dan hanya sedikit kelompok yang sudah bercocok tanam sederhana. Selama pandemi kelompok ini, punya cara unik untuk menghindari virus caranya dengan bersesandingon, yaitu melakukan melakukan pembatasan dengan dan memisahkan diri dengan anggota kelompok lainnya termasuk membatasi bertemu dengan pihak luar. Masuk jauh ke dalam hutan ataupun makin jauh atau ke tengah perkebunan tergantung lokasi mereka bermukim.
“Pada awal sesandingon, kelompok Orang Rimba yang tinggal di dalam rimba, masih mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka, sedangkan yang tinggal di bawah perkebunan sawit dan perkebunan karet langsung terdampak karena hasil buruan mereka tidak ada yang membeli dan mereka juga takut untuk keluar menjual hasil buruannya,”kata Rudi Syaf Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, lembaga yang selama ini aktif melakukan pendampingan pada Suku Asli Marginal.
Namun seiring waktu, suku-suku ini turut mengalami kesulitan untuk pemenuhan kebutuhan pangan mereka. “Kami mendorong pemerintah bisa menjangkau Orang Rimba dengan pemberian bantuan langsung sebagaimana yang dilakukan pada kelompok masyarakat terdampak lainnya,”kata Rudi.
Persoalannya Orang Rimba, bukanlah warga negara yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Orang Rimba sebagian besar belum memiliki nomor induk kependudukan NIK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kondisi ini yang menyebabkan sebagian besar suku –suku ini belum masuk sebagai daftar yang menerima bantuan. “Orang Rimba sebagian besar tidak terikat dengan desa, sehingga ini menyulitkan untuk pencatatan administrasi mereka, ini juga yang menjadi kendala untuk Orang Rimba bisa mengakses bantuan pemerintah,”kata Rudi.
Syarat dari pemerintah, penerima bantuan merupakan penduduk yang tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementrian Sosial. Sedangkan Orang Rimba karena tidak punya NIK tidak tercatat dalam DTKS ini. Persoalan ini dikemukakan kepada kementrian sosial. Respon cepat diberikan Kementrian Sosial dengan adanya kebijakan Mentri untuk perlakuan khusus kepada Orang Rimba. Caranya, dengan memberikan ID sementara, sambil NIK/KTP berproses pada dinas terkait.
“Kami mengapresiasi langkah kementrian sosial yang memberikan bantuan sosial langsung kepada Orang Rimba, bantuan ini sangat bermanfaat untuk menopang kehidupan Orang Rimba yang terdampak covid-19,”kata Rudi.
Penyerahan bantuan ini dilangsungkan secara serentak melibatkan kantor pos Jambi dan 13 kantor pos cabang kecamatan. Penyerahan dilakukan dengan sistem Orang Rimba mendatangi kantor pos yang sudah ditentukan dan ada juga petugas pos yang mendatangi komunitas Orang Rimba, terutama untuk Orang Rimba yang berada di lokasi yang sulit untuk dimobilisasi keluar hutan.
Menti Ngelembo dari Orang Rimba Terap menyebutkan sangat berterimakasih kepada pemerintah yang sudah memberikan bantuan langsung. “Kami akan gunokan bantuan untuk beli beras,”kata Ngelembo, Orang Rimba dari kelompok Tumenggung Menyurau yang bermukim di Sungai Terap pinggir Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi.
Tumenggung Ngamal, pimpinan Orang Rimba yang kini bermukim di Sako Lado TNBD menyebutkan sejak pandemi anggota kelompoknya makin jauh masuk ke dalam hutan. Di dalam hutan bahan pangan mereka adalah gadung, benor dan umbut-umbut rotan. “Kalau gadung, harus diolah tiga hari di darat dan tiga hari dalam air, kalau tidak di olah dengan baik maka bisa menyebabkan mabuk. Kalau ambil benor kami harus gali sangat dalam bisa dua meter gali tanah baru ketemu umbinya. Buahnya kira-kira sebesar jempol kaki, sehari menggali bisa dapat satu periuk,”kata Ngamal.
Untuk mengkonsumsi hewan buruan, menurut Ngamal tidak mereka lakukan. Karena menurut informasi yang mereka dapatkan virus berasal dari binatang liar. “Kami ketakuton, kami hopi bemakon hewan buruan, tokut korona, (kami ketakutan, informasi yang kami dapatkan corona dari virus hewan liar, kami berhenti dulu makan hewan buruan,”kata Tumenggung Ngamal.
Dengan adanya bantuan ini Orang Rimba merasa sangat tertolong. “Kami akan gunakan untuk beli beras, beli pemakon (bahan pangan)”kata Ngamal setelah menerima bantuan senilai Rp 1,8 juta yang merupakan bantuan sosial tunai yang di untuk tiga bulan yaitu April, Mei dan Juni yang dilakukan dalam sekali pembayaran.
Orang Rimba dan KTP
Kementrian Sosial dengan berbagai programnya ditujukan untuk mengatasi kesulitan hidup masyarakat miskin dan terpinggirkan termasuk kelompok masyarakat pedalaman yang diistilahkan dengan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Komunitas ini hidup dalam tataran nenek moyang yang mereka yakini dan belum beradaptasi dengan norma umum masyarakat lainnya. Dengan kondisi ini, banyak suku KAT ini yang tidak terdata dalam administrasi Negara. Penyebabknya suku-suku ini sebagian tidak terintegrasi ke dalam wilayah administrasi desa yang menjadi dasar untuk pendataan penduduk.
Dengan kondisi ini, menyebabkan program pemerintah untuk pemberdayaan suku-suku ini cukup sulit sampai di kelompok ini. “Terobosan dengan memberikan ID sementara dan kemudian memproses data kependudukan suku adat marginal seperti Orang Rimba, Batin Sembilan dan Talang Mamak, sangat baik,”kata Rudi Syaf.
Dikatakannya dengan kondisi saat ini ketika sumber penghidupan suku-suku yang bergantung dengan alam semakin sempit dan adaptasi mereka pada perubahan belum berjalan dengan baik, maka kehadiran pemerintah sangat dibutuhkan oleh komunitas ini. “Mereka akan sulit untuk beradaptasi dengan perubahan penghidupan mereka tanpa campur tangan pemerintah, selaku pengayom seluruh rakyat Indonesia,”kata Rudi.
Untuk itu, kata Rudi pengadministrasian suku-suku ini, juga diharapkan diberlakukan dengan kekhususan. Selama ini data yang bisa diinputkan adalah ketika ada alamat desa sebagai tempat domisili. Sementara suku ini sebagian besar masih mobilisasi semi nomadik, tidak terikat desa. “Namun mereka masih memiliki lokasi tinggal dan ruang jelajah. Penamaan dan domisili mereka mengacu pada nama sungai di lokasi bermukim mereka, misalnya Orang Rimba Makekal, Kedudung Muda, Sako Lado, Terap, dan lainnya itu mengacu pada nama lokasi mereka, dengan posisi ini kita berharap sistem kependudukan yang disiapkan pemerintah adaptif terhadap lokasi mereka, berharap akan ada kekhususan untuk pendataan, sehingga tidak berbasis desa sebagaimana sebelumnya pemerintah melakukan pendataan penduduk,”kata Rudi.
Perlakukan khusus ini, menurut Rudi sangat penting untuk membantu suku-suku ini bisa hidup dengan baik dan layak, sebagai warga Negara yang setara dengan kelompok masyarakat lainnya di masa mendatang. “Seperti untuk masuk sekolah, saat ini minat dan ketertarikan suku ini pada pendidikan sudah semakin baik, pilihannya tidak hanya sebatas baca tulis dan hitung, namun sekolah formal yang diakui Negara sehingga mereka bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan sekolah formal dan mendapatkan pengakuan Negara,, kita berharap masa depan anak-anak suku pedalaman juga bisa lebih baik,”kata Rudi. Untuk masuk sekolah formal yang dibutuhkan adanya data masing-masing individu, termasuk anak yang akan sekolah butuh akta, KK dan KTP orang tuanya.
Data administrasi kependudukan juga dibutuhkan untuk penanganan layanan kesehatan, bantuan pemberdayaan dari pemerintah dan program lainnya dari Negara. Untuk itu, administrasi penduduk dengan kekhususan, diharapkan bisa disesuaikan dengan kondisi riil suku-suku ini. “Kami berharap program perekaman data kependudukan bisa segera direalisasikan,” sebut Rudi.
Ngelembo menyebutkan, Orang Rimba berharap untuk mendapatkan kartu tanda penduduk, supaya bisa mendapatkan bantuan pemerintah, mengurus masuk sekolah anak dan lainnya.