Sepanjang Sabtu 1 Juni 2024, beredar video Orang Rimba berjejer di tengah jalan Citra Raya City, Muara Jambi. Narasi yang menyertai video itu menyebutkan telah terjadi kemacetan panjang akibat ulah Suku Anak Dalam. Sejumlah pesan masuk ke telpon genggam staf KKI Warsi, meminta konfirmasi akan hal itu. KKI Warsi merupakan organisasi yang mendampingi Orang Rimba, komunitas adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan di Provinsi Jambi.
Orang Rimba merupakan kelompok masyarakat adat marginal yang hingga kini kokoh dengan adat dan budaya mereka. Adat budaya yang berbasiskan alam rimba, tempat hidup mereka. Adat dan budaya yang sangat berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Satu tradisi Orang Rimba hidup yang cukup unik yaitu melangun–berpindah tempat hidup karena ada kematian atau keadaan memaksa lainnya. Melangun merupakan tradisi untuk menghilangkan kesedihan akibat ditinggal orang yang disayangi dan hormati. Semakin tinggi interaksi dengan orang yang meninggal maka untuk melakukan melangun juga akan semakin kental dengan aksi-aksi unik yang orang lain lihat seperti teatrikal, seperti meraung-raung, berguling dan bahkan sejenis aksi seolah-olah mau ikut mati. Semakin dekat hubungan dengan yang meninggal waktu melangun juga akan semakin lama dan jauh. Selama proses melangun ini, pantang untuk menyebut-nyebut nama si orang meninggal bahkan jika melihat kerabat dekat orang yang meninggal maka tangisan pun akan kembali pecah.
Sejak beberapa hari lalu, Orang Rimba dari kelompok Jelitai sejumlah sekitar 30 KK membuat sesudungan,–pondok-pondok beratap terpal, di kebun dekat perumahan Citra Raya City, tepatnya di masuk ke dalam dari jalur Ness Jambi-Muara Bulian. Adanya kelompok ini membuat sudung di dekat kota Jambi ini, berjarak puluhan kilo meter dari genah mereka di Desa Sungai Rengat Bagian utara Taman Nasional Bukit Duabelas, karena ada Tungganai Natar dalam KTP tertulis Mustar sedang sakit dan di rawat di Rumah Sakit Raden Mattaher. Gelar Tungganai disematkan pada orang yang diposisikan sebagai penasehat Tumenggung. Tumenggung merupakan pemimpin kelompok Orang Rimba. Secara sosial di Orang Rimba posisi Tungganai paling atas dan terhormat serta paling disegani.
Sabtu itu tersiar kabar Tumenggung yang di rawat koma dalam perawatan di ICU karena gagal ginjal. Dalam bahasa Orang Rimba, koma itu sudah diibaratkan meninggal. Kabar inipun langsung disambut anggota kelompoknya dengan meratop– menangis meraung-raung. Aksi ini diikuti dengan cara seolah ingin ikut mati, itulah yang dilakukan, meratop di jalanan Citra Raya City. Meraung-raung menunjukkan kesedihan mendalam. Aksi ini merupakan bagian tradisi yang sudah berlangsung sejak lama, jika di rimba aksi ingin ikut mati ini, dilakukan dengan mengarahkan parang ke dada walaupun tidak pernah sampai ada yang benar-benar melakukannya. Aksi inilah yang beredar di video sepanjang Sabtu kemarin, aksi yang menunjukkan bebunuh dirio, seperti itu bahasa mereka. Aksi ini bagi orang yang lewat tentu dianggap tidak biasa, membahayakan mereka dan juga pendara lain.
Ketika situasi ini terjadi, reaksi yang dibutuhkan Orang Rimba adalah pembujuk. Menunjukkan simpati dengan keadaan mereka, memberi bahan pangan karena pada situasi ini kondisi mereka adalah remayo, kekurangan bahan pangan.
“Aksi-aksi budaya Orang Rimba akan semakin mudah terlihat dan bisa bermakna aneh bahkan mengganggu bagi masyarakat lain, karena kehidupan mereka yang makin terbuka. Sejak dahulu aksi ini sudah dilakukan hanya saja masih tertutup dalam hutan. Begitu hutan makin tipis dan interaksi dengan orang lain makin dekat, nampaklah budaya yang sudah turun temurun mereka jalankan,” kata Robert Aritonang, antropolog Warsi.
Untuk itu menurut Robert mengakomodir Orang Rimba dalam kehidupan normal adalah bagian dari upaya untuk penghargaan terhadap budaya mereka. “ikut bersimpati dan ikut berduka cita, itu yang mereka butuhkan,”kata Robert.
Selain itu juga yang penting dilakukan adalah tetap menyediakan ruang perlindungan hutan untuk kelompok ini. Mereka hidup membutuhkan hutan untuk segala atraksi budaya dan sosial mereka.
“Selain itu juga dibutuhkan pemakluman dan pemahaman dari kita semua bahwa yang terjadi adalah perwujudan budaya mereka, dan dihadapi dengan tradisi mereka juga, beri mereka pembujuk, dengan sendirinya aksi itu akan selesai dan mereka akan melangun, berpindah tempat melanjutkan pengungkapan rasa duka mereka,” kata Robert.
Hari ini, Minggu, Tungganainya berpulang setelah berjuang keras melawan sakitnya. Keluarga dekat dan didampingi Prabu Tamba dari Warsi mengurus administrasi kepulangan jenazah dan mengantarkan tungganai ke peristirahatan terakhir, di tanah pasaron, di utara TNBD. Selanjutnya keluarga dekat ini akan melangun juga mengikuti anggota kelompok lainnya yang sudah sejak aksi di citra raya melangun jauh.