Indonesia merupakan salah satu negara yang dikategorikan oleh masyarakat internasional sebagai negara dengan mega biodiversity. Memiliki iklim tropis dengan luas tutupan hutan mencapai 124 juta ha (KLHK, 2017) menjadikan keanekaragaman hayati tergolong tinggi di Indonesia. Mulai dari keanekaragaman spesies hingga keanekaragaman ekosistem tersebar luas di Indonesia serta memiliki karakterisik serta permasalahannya masing – masing.
Berbicara tentang karakteristik, keanekaragaman hayati di Indonesia memiliki beberapa kategori untuk dapat menjelaskan karakteristiknya. Mulai dari karakteristik wilayah hingga karakteristik spesies. Namun jika berbicara tentang permasalahan yang dihadapi keanekaragaman hayati di Indonesia, baik itu keanekaragaman ekosistem, spesies ataupun keseluruhan unsur di dalam keanekaragaman hayati itu sendiri, semuanya memiliki permasalahan yang sama, yaitu keterlibatan manusia yang berdampak buruk bagi keberlangsungannya.
Kemajuan peradaban manusia yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi memiliki berbagai dampak bagi lingkungan. Pemanfaatan sumber daya alam dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang tidak memperhatikan keseimbangan alam akan berdampak negatif bagi keanekaragaman hayati di dunia. Mulai dari pemanfaatan hutan secara tidak berkelanjutan hingga pemanasan global yang dapat mengakibatkan perubahan iklim akibat dari aktivitas manusia yang tidak memperhatikan lingkungan menjadi tantangan utama dalam mempertahankan keanekaragaman hayati. Di Indonesia sendiri, dengan permasalahan maraknya pengalihfungsian hutan serta pengurangan luas tutupan hutan yang terjadi setiap tahunnya menjadi isu utama yang harus diperhatikan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati yang ada di kawasan hutan tersebut.
Setiap tahun luas tutupan hutan di Indonesia berkurang cukup signifikan. Pengurangan luas tutupan hutan paling besar terjadi pada tahun 2012 dengan luas 928.000 ha, walaupun pada tahun 2013 mengalami penurunan, tetapi pada tahun 2014 dan 2015 luas tutupan hutan yang hilang kembali naik dengan luas masing – masing 796.500 ha dan 735.000 ha (WRI-Indonesia, 2017).
Di Provinsi Jambi sendiri, luas tutupan hutan tinggal 920.000 ha (18%) dari total wilayah (Analisis Citra Satelit Lansat TM Divisi GS IT KKI WARSI). Hilangnya tutupan hutan membahayakan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Jambi sendiri sebenarnya memiliki flora dan fauna yang dikategorikan langka oleh masyarakat internasional. Misalnya saja harimau sumatera, gajah, orang utan, bunga raflesia serta masih banyak lagi. Dengan adanya berbagai flora serta fauna yang dilindungi tersebut menjadikan isu untuk mempertahankan jumlah luas tutupan hutan yang ada untuk lebih diutamakan.
Landscape Bujang Raba yang membentang di Kabupaten Bungo merupakan salah satu kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati cukup kompleks di Provinsi Jambi. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI sejak tahun 2012 lalu telah mencoba untuk melihat keanekaragaman hayati yang ada di landscape tersebut dengan tujuan untuk mengingatkan para pihak yang mengelola landscape tersebut terhadap apa yang ada di dalamnya dan pentingnya untuk menjaga serta melindunginya.
Pada survei terbaru yang dilakukan adalah dengan melakukan dengan memasang kamera trap di beberapa lokasi landscape bujang raba. Pada perekaman selama 77 hari dari Oktober 2018-Januari 2019, ditemukan fauna kunci di kawasan tersebut, seperti Harimau Sumatera. Harimau Sumatera merupakan top predator di dalam piramida makanan. Hal tersebut membuat keberadaan sangat rawan terhadap kepunahan dibandingkan satwa lain apabila apabila kawasan hutan mengalami pemisahan menjadi blok blok hutan kecil yang tidak mendukung keberadaan hewan mangsa. Harimau Sumatera berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem terutama ekosistem mangsanya. Namun keberlangsungan hidup spesies ini mulai terancam dan mengalami penurunan populasi setiap tahunnya. Sebagai predator utama, Harimau memerlukan habitat yang luas agar dapat berkembang biak dengan baik. Ketersediaan pakan menjadi faktor yang penting dalam keberlangsungan hidup harimau sehingga akan berpengaruh terhadap luas daerah jelajah harimau (Laporan Hasil Analisis Kamera Trap KKI WARSI, 2019).
Hasil perekaman kamera trap ini menguatkan hasil survei lanskap Bujang Raba yang dilakukan pada 2012 lalu. Pada survei itu ditemukan berbagai jenis flora dan fauna, tercatat 22 jenis mamalia dari 14 famili (19 jenis diantara dilindungi, antara lain: Harimau, Rusa, Kijang, Tapir dan Beruang), dan tercatat 146 jenis burung dari 24 famili (43 jenis diantaranya dilindungi), beberapa jenis reptilia dan puluhan jenis ikan. Selain itu diperkirakan tercatat tak kurang dari 1.000 jenis flora yang didominasi oleh Dipterocarpaceae dan Sapotaceae (yang menjadi indikator kawasan hutan klimaks yang kondisinya relatif sangat baik), dan tercatat 4 jenis berkategori endemik dan dilindungi, yaitu kantung semar (Nepenthes), bungo matohari dan cendawan muko rimau (Rafflesia hasseltii) dan bunga bangkai (Amorphopalus titanum dan Amorphophallus gigas) yang menjadi ”icon” Kabupaten Bungo tempat dimana landscape Bujang Raba berada.
Keberadaan flora serta fauna kunci di landscape tersebut tentu saja harus dijadikan acuan untuk bagaimana dalam mengelola kawasan hutan itu serta apa status yang cocok untuk kawasan hutan tersebut. Jika ditelisik mengenai pembagian hutan berdasarkan fungsinya, pada Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terdapat tiga jenis hutan berdasarkan fungsi pokoknya. Yaitu, Hutan Konservasi, Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Lanskap Bujang raba saat ini masih berstatus Hutan Poduksi dan hutan lindung. Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang mana peluang untuk memanfaatkannya terbuka bagi pihak yang ingin mengelola kawasan hutan tersebut. Hal itu tentu saja menjadi ancaman nyata bagi keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Diperlukan perlindungan di tingkat kebijakan untuk mempertahankan biodiversity yang ada di dalamnya sehingga tidak mengancam serta menghilangkan ruang hidup bagi spesies kunci tersebut.
Setiap kebijakan yang diambil dan terkait dengan lingkungan, sejatinya harus memperhatikan keanekaragaman hayati sebagai salah satu faktor utama. Pemanfaatan serta pengelolaan hutan agar tidak mengganggu serta mengancam keanekaragaman hayati yang ada di hutan tersebut tentu sangat penting untuk menjaga keberlangsungan makhluk hidup di dalamnya. Semua spesies baik itu flora dan fauna memiliki perannya sendiri untuk alam dan lingkungan. Jika salah satu spesies punah, maka dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi keseimbangan alam. Lanskap Bujang raba yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi telah memenuhi kriteria untuk dilakukannya perlindungan yang lebih kuat lagi. Hal itu untuk memastikan ruang hidup bagi flora serta fauna dapat terjamin sehingga alam dan lingkungan tidak lagi dirugikan oleh aktivitas manusia yang mengancam keseimbangan alam. (Wahyu Priyanto)