Fikri, begitu ia disapa – lulusan Teknik Informatika ini memilih jalan berbeda dengan rekan-rekan sejawatnya. Disaat teman-temannya memilih bekerja di kota bertaut merancang aplikasi atau games di perusahaan start up, Fikri justru memilih bekerja sebagai programmer di KKI WARSI, membangun Sistem Informasi Desa (SID). Sejauh ini, Fikri telah berhasil merancang SID untuk sembilan desa pelosok di Kalimantan Utara.

Inisiatif pengembangan Sistem Informasi Desa oleh KKI Warsi ini sebetulnya sudah dimulai di Sumatera dalam bentuk aplikasi bernama PRM (Potensi Ruang Mikro), dan pernah juga coba diimplementasikan di Kalimantan Utara, tepatnya di desa Long Pada dengan menggunakan aplikasi open source bernama OpenSID. Namun, sejak tahun 2021 KKI WARSI berinisiatif untuk mengembangkan Sistem Informasi Desa sendiri dengan menggabungkan PRM yang ada di Sumatera dengan OpenSID di Desa Long Pada. Dari sanalah, Fikri direkrut sebagai bagian dari tim IT untuk membangun sistem terbaru ini. Ia tidak sendiri, bersama anggota tim IT KKI Warsi lainnya, yakni Askarinta Adi dan Andi Irawan, mereka harus bekerja ekstra untuk mengkolaborasikan dua sistem yang cukup berbeda hingga dihasilkan sebuah Sistem Informasi Desa bernama Potensi Ruang Mikro-Aplikasi Informasi dari Desa (PRM-AID).

“Kami secara intensif terus melakukan diskusi, baik bersama tim IT maupun fasilitator pendamping desa untuk menggabungkan kelebihan dan memperbaiki kekurangan dari aplikasi PRM di Sumatera dan OpenSID di Desa Long Pada, untuk diterapkan ke dalam sistem PRM-AID yang terbaru” tutur Fikri

Proses pembangunan aplikasi PRM-AID ini sangat kompleks. Pengembangan aplikasi ini harus mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan desa yang akan menggunakannya. Di awal pengembangannya, aplikasi ini dibangun tanpa mempertimbangkan kondisi di Kalimantan sehingga ada fitur-fitur yang tidak sesuai dengan kebutuhan desa. Hal ini menyebabkan aplikasi harus dimodifikasi lagi. Selain itu, sama seperti pengembangan aplikasi pada umumnya, kendala berupa error pada sistem (bugs) akan selalu muncul dan hal inilah yang kerap terjadi di lapangan ketika aplikasi ini dioperasikan.

Deadline pembuatan aplikasi ini sangat singkat. Sejak bergabung dengan Warsi pada April 2021 lalu, Fikri diharuskan untuk dapat merampungkan aplikasi pada April 2022.

Sedangkan untuk berkonsultasi dan berdiskusi dengan Tim IT di Jambi, hanya dapat dilakukan secara virtual saja.

Menyiasati hal tersebut, Fikri secara terus menerus melakukan diskusi dengan Tim IT di Jambi. Ketika ia pergi ke desa-desa dampingan, Fikri selalu membuat daftar error yang ditemukan pada aplikasi di setiap desa dan sesegera mungkin memperbaikinya.

Selain membuat dan menjaga kestabilan aplikasi, fikri juga berperan untuk mendampingi tim entri data. Ia berusaha untuk memberikan pemahaman terkait aplikasi PRM-AID kepada tim. Jika mereka sudah paham, barulah Fikri mempraktekkan cara menginput data dan menjelaskan setiap fitur yang ada dalam aplikasi PRM-AID.

“Kalo untuk tim entri data ini dipilih yang terbiasa atau paling tidak familiar lah dalam mengoperasikan komputer, itu cukup membantu. Mereka mau berusaha untuk bisa mengoperasikan aplikasinya, meskipun mereka masih gugup juga. Cuma secara umum, mereka mudah memahami apa yang kita sampaikan. Beberapa desa punya SDM yang tergolong cepat untuk belajar mengoperasikan aplikasi PRM-AID ini. Namun, ada juga desa yang SDM-nya kita butuh usaha ekstra untuk mendampingi mereka memahami dan mengoperasikan aplikasi ini” Ucap Fikri saat disinggung mengenai tim kerja entri data.

Selama mendampingi tim kerja, ia menemukan adanya kendala yang dialami oleh tim entri data dalam menginput data-data ekonomi. Hal ini mengingat data tersebut merupakan informasi yang cukup sensitif bagi masyarakat desa karena menyangkut pengeluaran dan pemasukan mereka. Belum lagi informasi yang diberikan oleh masyarakat biasanya tidak dalam bentuk nominal sehingga tim kerja harus mengkonversi nilai tersebut agar bisa di-input ke dalam aplikasi.  Fikri menyiasati hal ini dengan berdiskusi bersama tim entri data untuk membuat standar harga sesuai kondisi di setiap desa. Jadi mereka terlebih dahulu harus menghitung pengeluaran setiap warga, dan barulah menginputnya ke dalam aplikasi PRM-AID.

“Misal di pengeluaran itu ada kopi, kita kan masukan di PRM itu dalam bentuk uang, tapi di kuesioner itu dalam bentuk kotak atau kilo. Belum lagi kalo beras ada yang pakai kaleng atau pakai kilo harus diubah ke nominal sesuai dengan standar harga di desa,” kata Fikri. (Peri Anggraeni)