Pemukiman, areal persawahan dan kebun masyarakat yang berada dalam kawasan hutan masih menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Bayangan akan ditangkap polisi hutan karena dianggap mengelola kawasan masih menghantui masyarakat yang berada dalam kawasan hutan. Padahal belakangan, pemerintah mulai membuka peluang masyarakat untuk mengakses hutan. Hal ini mengemuka dalam Sosialisasi Ruang dan Tata Kelola Hutan di Nagari Sariak Alahan Tigo, Kecamatan Hiliran Gumanti Kabupaten Solok, pada 25 April 2019.
“Mendengar hutan, kita terbayang tentang polisi hutan, penangkapan, dan diciduk paksa. Pernah ada kejadian warga kami ditangkap akibat menebang pohon di belakang rumahnya sendiri. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 2013 lalu sebelum ada SK Hutan Nagari,” ujar Andrizal, Wali Nagari Sariak Alahan Tigo dalam sambutannya.
Kondisi ini masih terus membayangi warga, meski kemudian Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memberikan hak akses hutan melalui SK Hutan Nagari pada masyarakat seluas 4.138 ha melalui SK nomor 703/Menhut-II/2014 pada 20 Agustus 2014. Izin menteri ini diteruskan ke dalam bentuk Hak Pengelolaan Hutan Nagari yang di sahkan melalui SK 522.4-935-2016 pada 12 Juli 2016.
Meski masyarakat sudah mendapatkan SK namun trauma masa lalu, apalagi sebagian kawasan hutan nagari yang dikelola masyarakat tepatnya di Jorong Sianggai-Anggai yang masuk wilayah hutan lindung.
Menanggapi kekhawatiran ini, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Solok menyebutkan bahwa pada prinsipnya kerangka kerja kehutanan saat ini sudah sangat berubah. Pihak kehutanan sangat membuka diri sepanjang potensi yang ada bisa diolah. “Kita akan bantu masyarakat untuk mengelola hutan,” kata Refriasel, kepala KPHL Solok.
Disebutkannya, masyarakat telah diberikan hak kelola atas hutan dengan skema hutan nagari dapat mengelola hutan lindung tersebut. “Masyarakat dapat hak mengelola selama 35 tahun. Pemerintah tidak akan menyengsarakan rakyat, pemerintah hanya mengatur agar masyarakat bisa menjadi makmur, dan hutan tetap lestari, jadi pengelolaannya tetap disesuaikan dengan fungsi kawasan hutan,” tegasnya.
Persoalan yang dihadapi terkait hutan lindung di Sariak Alahan Tigo, sebenarnya bukan perkara yang baru dihadapi oleh masyarakat di Sumatera Barat. Masyarakat Nagari Kampung Baru Korong nan Ampek (KBKA), Pesisir selatan juga merupakan salah satu yang pernah berpengalaman dengan kondisi demikian, dan sukses untuk menyelesaikan masalah ini.
“Secara kenagarian, nagari KBKA dan sariak tidak berbeda, kami awalnya mengetahui keberadaan hutan lindung ini semenjak ada kasus yang terjadi,” sebut Idris, perwakilan masyarakat KBKA.
Proses penyelesaian dilakukan secara intensif dan melibatkan instansi terkait. Ada sejumlah pertemuan dan diskusi yang dilakukan masyarakat KBKA. “Setelah itu kami melakukan diskusi dengan dinas terkait mengenai hutan lindung ini, karena yang disebutkan dengan hutan lindung, saat ini kondisinya ada sawah, ada pemukiman yang masuk ke dalam kawasan,” tuturnya.
Dari diskusi dan advokasi yang dilakukan, kawasan pemukiman dan sawah masyarakat yang masuk ke dalam kawasan hutan sudah di enclave. Sedangkan perkebunan yang dalam kawasan hutan dikelola dengan skema hutan nagari.
Koordinator Program KKI Warsi, Rainal Daus menuturkan bahwa peluang masyarakat untuk mengelola hutan sudah sangat terbuka, asalkan mendapatkan legalitas dari pemerintah. “Dan itu semua bisa diupayakan dengan meminta izin ke instansi terkait. Sariak Alahan Tigo mendapatkan izin kelola melalui LPHN dengan luas hutan nagari mencapai 4.138 Ha. Untuk pemukiman masyarakat, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang masuk ke dalam wilayah hutan lindung di Jorong Sianggai-Anggai yang masuk ke wiayah hutan lindung, ke depannya akan dibuka peluang pemberlakuan skema TORA, Tanah Objek Reforma Agraria,” kata Rainal.
Mengenai hutan lindung, Rainal menyebut masyarakat tetap dapat mengelolanya. Karena sudah mendapatkan izin hutan desa. “Pengelolaannya tentu tetap mengacu pada fungsi kawasan. Hal ini penting untuk menjadi perhatian, karena pengelolaan yang baik tetap mengacu pada aturan untuk menghindari resiko bencana ekologis dan kerusakan ekosiste,”kata Rainal.