Perdagangan kayu ilegal (illegal timber trade) dan pembalakan liar (illegal logging) merupakan salah satu penyebab utama kerusakan hutan di banyak negara, termasuk di Indonesia. Banyak studi mengindikasikan skala illegal logging di Indonesia yang sangat tinggi terutama di akhir dekade 1990-an dan awal milenium baru. Menyikapi hal tersebut pada tahun 2003, Uni Eropa (UE) meluncurkan Rencana Aksi Penegakan Hukum Kehutanan, Tata Kelola dan Perdagangan (Forest Law Enforcement, Governance & Trade/ FLEGT) yang ditujukan untuk memberantas pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal, melalui perbaikan pranata dan tata kelola, penegakan hukum, dan transparansi di sektor kehutanan (EC 2003) yang mana UE mengajak negara-negara pengekspor kayu untuk menandatangani Perjanjian Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreement/ VPA) untuk mencapai tujuan penjaminan perdagangan kayu legal antara kedua belah pihak.

Melihat dinamika global dalam tata Kelola dan perdagangan kayu dikawasan hutan tersebut maka Pemerintah Indonesia pada tahun 2009 merespon dengan mensahkan regulasi teknis mengenai pengaturan kayu yang sah dan legal yang dikenal dengan istilah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) melalui Peraturan Menteri No. P.38/2009 tentang Standar dan Pedoman SVLK. Pada tahun 2011 dilakukan peluncuran logo V-Legal terhadap jenis kayu yang diambil dari Hutan Indonesia dan selama 12 tahun telah mengalami 9 kali perubahan sampai terakhir berlaku Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi, sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam mengelolan dan memanfaat potensi kayu di Kawasan hutan yang legal dan menekan adanya kayu illegal dari hasil illegal logging.Di dalam SVLK terdapat lima pelaku utama yaitu Pertama,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berperan sebagai otoritas pembuat kebijakan (regulator) dan pemilik system yang mana diharapkan tidak hanya pemerintah Pusat saja tetapi Pemerintah daerah sesaui kewenangannnya dibidang Kehutan juga dapat memberikan peran dalam pelaksanaan SVLK terutama dalam Perhutanan Sosial.  Kedua, KAN sebagai Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang melakukan verifikasi terhadap Lembaga audit SVLK dan Ketiga lembaga penilai (LP)/ lembaga verifikasi (LV) yang berperan dalam Proses audit terhadap unit kelola/ manajemen (auditee). Kempat Unit Kelola/Manajemin/Pemegang Hak suatu Kawasan dan Kelima Masyarakat Sipil yang diharapkan dapat memainkan peran penting dalam pemantauan kredibilitas, legitimasi dan transparansi sistem melalui proses pemantauan independen (IM).

Kemitraan Perhutanan Sosial Antara Peluang Dan Tantangan

Dibuka ruang bagi masyarakat dalam Pengelolaan Hutan melalui skema Perhutanan Sosial adalah Langkah maju untuk membuat pemerataan kesejahteraan bagai masyarakat khususnya bagi masyarakat dan beradara di dalam dan sekitar Kawasan hutan. Provinsi Jambi sebagai salah satu Kiblat Perhutanan Sosial yang saat ini sudah diberikan  sebanyak 420 izin perhutanan sosial dan lebih dari 225 izin berada pada kawasan Hutan Produksi yang berbatasan langsung dengan konsesi IUPHHK HTI dan HA dan RE dengan mengadopsi skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Rakyat.

Maka dari itu dalam perhutanan sosial adanya areal pemanfaatan yang dapat dimanfaatkan potensi kayu sehingga pemegang hak dalam perhutanan sosial khususnya pemanfaatan kayu dan hasil hutan Non Kayu benar-benar dapat menjadi sumber mata pencarian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memaksimalkan manfaat dari potensi yang ada di arel haka tau izin perhutanan sosial tersebut. Akan tetapi sering perjalanan waktu dan demi penjaga pemurnian hasil kayu dan hasil hutan non kayu (HHBK) maka assal usulnya harus jelas dan sah secara hukum. Oleh karena itu perlunya pemahaman bagai masyarakt yang pemegah hak Kelola perhutanan sosial untuk memahami proses dan tahapan untuk mendapatkan sertifikasi legalitas Kayu sehingga hasil kayu dan HHBK sah secara hukum untuk diperdagangkan dengan dapat memenuhi  indikator penilaian dari SVLK mulai dari aspek prasyarat, aspek produksi, aspek ekologi, aspek sosial, dan aspek ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Permen LHK Nomor 8 tahun 2021 serta SK Dirjen PHPL Nomor SK.62/PHPL/SET.5/KUM.1/12/2020 yang berisi peraturan teknis mengenai tata cara pelaksanaan SVLK.

Jika kita klasifikasikan perhutanan sosial mengalamai dinamika yang mana pemegang hak Kelola perhutanan sosial dapat dibagi menjadi 3 (Tiga) yaitu : Pertama  Perhutanan Sosial pengelolaannnya  masyarakat sendiri. Kedua, perhutanan sosial dikelola oleh masyarakat dengan pendampingi dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan Ketiga, Perhutanan Sosial yang dikelola oleh masyarakat bermitra dengan perusahaan disekitar areal hak Kelola Perhutanan sosial.

Perkembangan dinamikan pengelolaan Perhutanan sosial ini jika dielaborasi dengan pemenuhan dokumen SVLK menjadi pintu masuk bagi perusahaan-perusahaan untuk berbisnis dengan pemegang perhutanan sosial untuk memenuhi dokumen SVLK, sehingga mulai muncul kemitraan yang disepakati antara pemegang hak perhutanan sosial dengan Perusahan disekitar arael perhutanan Sosial tersebut seperti yang terjadi di HTR Batanghari dan HTR di Tebo.

Melihat dinamika pengelolaan perhutanan sosial ini dapat ditemukan adanya pergeseran original intensi mengenai pembuatan regulasi Perhutanan sosial yang notabene bertujuan untuk ruang Kelola bagai masyarakat didalam dan sekitar hutan agar tidak hanya menjadi penonton akan tetapi menjadi pelaku dalam pengelolaan hutan maka disediakan sarana berupa Perhutanan Sosial, akan tetapi karena adanya tawaran dari perusahaan yang  memberikan modal berupa pengurusan semua dokumen perizinan baik izin pengelolaan maupun dokumen SVLK menjadi angin segar bagi pemegang Perhutanan Sosial untuk bermitra sehingga terjadi transaksi bisnis antara masyarakat pemegang perhutanan sosial dengan Perusahaan yang produk yang dihasilkan dalam pengelolaan diareal Kelola perhutanan sosial harus disesuai dengan produk perusahaan sehingga tidak salah sebutan yang mengatakan Perhutanan Sosial berasa Perusahaan dan memang tidak ada larangan bahwa kemitraan di perhutanan sosial, akan tetapi perlu di elaborasi dan dikaji lebih dalam apakan kemitraan yang terjadi adalah murni dari kehendak masyarakat yang mana dalam konsep perhutanan sosial masyarakat tetap menjadi actor utama dalam pengelolaan areal perhutanan sosial.

Perhutanan Sosial Memperkuat Jaringan Pemantau Independen Kehutanan

Maraknya laju degradasi dan deforestasi hutan tidak terlepas dari meningkatnya aktifitas pembalakan liar dalam Kawasan hutan. Dengan adanya sisten SVLK mempersempit ruang terjadinya pembalakan liar agar kayu hasil pembalakan liar tidak beredar atai diperdagangkan. Maka dari itu dengan 420 izin perhutanan sosial dan lebih dari 225 izin berada pada kawasan Hutan Produksi di Jambi yang tersebar di seluruh kabupaten di Provinsi Jambi menajdikan peran masyarakat sebagai pemegang hak Perhutanan Sosial menjadi siknifikat dalam melakukan pemantauan Kawasan hutan baik di arel perhutanan sosial maupun pada Kawasan hutan disekitarnya agar menghindari atau memimalisir terjadi kejahatan dibidang Kehutanan seperti Pembalakan liar. Apabilan peran dari Pemegang hak pengelolaan Perhutanan Sosial dapat menjadi pemantau independent atas pengeloaan Kawasan hutan, maka berimplikasi logis berkurangnya kayu yang ilellagl yang beredar di pasaran baik di Indonesoia maupun keluar negeri. Maka dari itu perlu penguatan pemantau independent kehutanan yang sejatinya juga harus dilindungi secara hukum.

Sejatinya dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) Jo Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) mengatakan bahwa upaya Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan, maka dari itu baik perorangan, masyarakat sipil /NGO dan Koorporasi pemegang izin dapat menjadi Pelapor dan atau Informasi atas dugaan tindak Pidana Pembalakan Liar di kawasan Hutan.  Berdasarkan Pasal 1 angka 19 UU Cipta Kerja Jo UU P3H mengatur mengenai Pelapor yang dalam hal ini adalah untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana dibidang Kehutanan.  Disamping sebagai pelapor pemegang Perhutanan sosial juga dapat menjadi Informan apabila ada pembalakan liar dikawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 20 UU Cipta Kerja Jo UU P3H mengatur mengenai Informan yaitu orang yang menginformasikan secara rahasia adanya dugaan, sedang, atau telah terjadinya perusakan hutan kepada pejabat yang berwenang.

Maka dari itu disamping sebagai pemengan hak Kelola perhutanan sosial dan juga memiliki SVLK terhadap produk kayu yang dihasilkannya, maka Pemegang hak pengelolaan perhutanan sosial dapat menjadi pemantau Independen untuk menjaga bahwa kayu yang kelaur di dalam Kawasan hutan baiak dari areal Kelola perhutanan sosial maupaun dari areal izin konsesi IUPHHHK HTI baiak HP/HA serta areal kawassan hutan lainnya dapat diawasai dengan menenmpatkan diri sebagai pelapor indopenden ataun informan apabila ditemukan kejahatan dibidang kehutanankhsuusnya berupa pembalakan liar.