Indonesia merupakan salah satu negara peng-ekspor kayu terbesar di dunia. Berdasarkan hasil pengumpulan Data Kehutanan Triwulanan Tahun 2019 (DKT2019), jumlah produksi kayu bulat di Indonesia adalah sebesar 57,93 juta m3 (BPS, 2019). Hal ini tidak begitu mengherankan karena luas kawasan hutan produksi yang berada di Indonesia cukup luas, yaitu mencapai 56 juta hektare hutan produksi serta 12,9 juta hektar lahan hutan yang dapat dikonversi menjadi hutan produksi dari 125,9 juta hektar kawasan hutan di indonesia. Dengan lahan yang begitu luas, perlu upaya serius dan intens untuk memastikan tegaknya aturan terkait dengan pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (HHK) yang ada di indonesia.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan salah satu instrumen yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa kayu yang beredar merupakan kayu yang berasal dari sumber yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini terdapat di dalam Peraturan Menteri Lingkugan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 21 Tahun 2020 menggantikan Permen LHK nomor 30 tahun 2016. Kayu disebut legal bila asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku. Salah satunya adanya Kesepakatan Kemitraan Sukarela atau Voluntary Partnership Agreement (VPA) Penegakan Hukum dan Tata Kelola Hutan dan Perdagangan/Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) antara Uni Eropa dan negara – negara pengekspor kayu, termasuk indonesia, yang merupakan komponen kunci dalam rencana Aksi FLEGT Uni Eropa tahun 2003 untuk mengatasi pembalakan liar. Banyak proses diseminasi dan sosialisasi yang telah dilakukan, salah satunya yang di lakukan oleh KKI Warsi yang didukung oleh FAO-UE FLEGT.

Terdapat 4 aspek utama yang harus diperhatikan dalam penegakan aturan SVLK, yaitu Produksi, Ekologi, Legalitas dan Sosial. Keempat aspek ini harus diperhatikan bagi subjek hukum yang ingin memanfaatkan HHK yang ada di Indonesia. Setiap badan usaha yang memanfaatkan HHK harus memenuhi syarat tersebut untuk mendapatkan sertifikat baik itu sesuai dengan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP), Serlifikat Legalitas Kayu (S-LK) atau Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) dari lembaga sertifikasi. Untuk memastikan bahwa syarat serta aspek legalitas tetap dipertahankan oleh industri HHK setelah mendapatkan sertifikat, lembaga sertifikasi wajib melakukan penilikan sesuai dengan yang di atur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor SK.62/PHPL/SET.5/KUM.1/12/2020 tentang Pedoman, Standar dan/atau Tatacara Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Verifikasi Legalitas Kayu, Uji Kelayakan dan Penerbitan Deklarasi Kesesuaian Pemasok, serta Penerbitan Dokumen V Legal/Lisensi FLEGT.

Pemantauan Pemerintah

Setelah dilakukannya segala penilikan serta pemantauan yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi, diperlukan pula pemantauan dari lembaga-lembaga pemerintahan dan pemegang kawasan yang diberi amanah oleh undang-undang. Salah satunya Balai Pengelola Hutan Produksi (BPHP) yang berada di bawah KLHK. Pada Pasal 3 Permen LHK Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelola Hutan Produksi huruf (c) dan (d) menyatakan bahwa BPHP bertugas untuk melakukan pemantauan dan evaluasi di bidang Usaha Hutan Produksi dan Industri Hasil Hutan. Hal itu mewajibkan BPHP untuk senantiasa melakukan pemantauan dan evaluasi terkait dengan implementasi SVLK di lapangan. Baik itu melalui aplikasi SIPUHH (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan) maupun mengecek langsung ke lapangan.

Selain itu untuk pemegang kawasan sendiri, Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) yang berada di bawah Pemerintahan Provinsi juga memiliki kewenang untuk melakukan pelaksanaan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya (Pasal 4 ayat (2) huruf (c) Permendagri No 61 Tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah).

Walaupun dalam pelaksanaannya, antara KPH dan BPHP hanya berjalan sendiri-sendiri dan jarang untuk saling berkoordinasi karena memiliki jalur koordinasi yang berbeda, KPH berkoordinasi dengan dinas di tingkat provinsi, sedangkan BPHP berkoordinasi di jalur KLHK. Sehingga untuk sharing data saja, perlu surat menyurat dan koordinasi yang cukup memakan waktu.

Pengawasan yang berlapis tersebut memang dirancang agar tata kelola hutan yang telah dirancang sedemikian rupa tidak diselewengkan sehingga tujuan untuk melindungi kawasan diluar hutan produksi dapat dimaksimalkan. Namun, apakah hal itu sudah cukup? Jika dilihat dari keadaan riil di lapangan, mungkin hal itu belum cukup.

Untuk Provinsi Jambi saja, data yang telah dihimpun oleh KKI Warsi pada Catatan Akhir Tahun 2020 sendiri menyatakan bahwa masih terdapat aktifitas Illegal Logging dan membuat kawasan hutan semakin berkurang. Dari catatan KKI Warsi, sejak tahun 1990, luas tutupan hutan yang mencapai 2,7 juta hektar, berkurang hingga menjadi 882 ribu hektar di tahun 2020 ini. Untuk tahun 2020 saja tercatat sebanyak 102.521 kubik kayu illegal telah keluar dari kawasan hutan baik itu hutan produksi hingga hutan lindung. Hal ini menandakan bahwa pengawasan yang dilakukan harus lebih ditingkatkan.

Peran Masyarakat Sekitar

Sebenarnya di dalam Permen No 21 Tahun 2020 telah dibuka peluang bagi masyarakat untuk turut melakukan pemantauan terhadap pelaku industri HHK sebagai Pemantau Independen. Dalam Pasal 30 ayat (2) disebutkan bahwa masyarakat serta lembaga swadaya masyarakat dapat menjadi pemantau independen dalam hal pelaksanaan SVLK di tingkat lapangan. Indonesia sendiri memiliki satu lembaga jaringan yang bernama Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) yang merupakan kumpula dari LSM yang bergerak di bidang kehutanan yang secara aktif melakukan pemantauan pelaksaan SVLK sendiri, selain itu juga banyak lembaga-lembaga lain yang berdiri sendiri turut membantu dalam hal pengawasan SVLK tersebut. Namun tidak selamanya lembaga-lembaga yang ada tersebut memiliki sumber daya yang cukup untuk terus melakukan pengawasan, sehingga perlu jalan keluar lain agar pengawasan yang terjadi dapat secara berlanjut dilakukan. Salah satunya dengan cara memaksimalkan keberadaan masyarakat yang berada di sekitar badan usaha yang memanfaatkan HHK.

Di dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a disebutkan bahwa warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di dalam atau sekitar areal pemilik Hutan Hak, pemegang izin, atau pemegang Hak Pengelolaan berlokasi/beroperasi dapat menjadi Pemantau Independen. Masyarakat disekitar wilayah industri HHK tentu saja menjadi salah satu lapisan yang akan paling terdampak jika pengelolaan industri tersebut tidak memenuhi 4 aspek pelaksanaan SVLK. Biaya yang dikeluarkan pun tidak begitu besar karna tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Namun, peran masyarakat sekitar industri HHK dinilai tidak begitu signifikan dalam hal pemantauan pelaksanaan SVLK. Hal ini dapat dimaklumi karena dukungan yang masih rendah dari berbagai pihak agar masyarakat di sekitar daerah tersebut mau turut aktif dalam pelaksanaan pemantauan SVLK. Pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar area konsesi dengan industri HHK sangat dibutuhkan untuk mencegah timbulnya kerugian yang diterima oleh masyarakat. Apalagi, kawasan yang dikelola oleh masyarakat hampir seluruhnya berbatasan langsung dengan kawasan konsesi, sehingga sangat mungkin masyarakat sangat dirugikan jika suatu industri tidak melaksanakan kewajibannya. Sebenarnya dalam pelaksanaan pemantauan SVLK sendiri, tidak diperlukan berbagai kegiatan khusus yang dilakukan oleh masyarakat, namun cukup dilakukan sembari melakukan kegiatannya sehari-hari. Lahan masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan industri HHK menjadi nilai tambah karena jika suatu industri melakukan penebangan di luar wilayahnya, baik itu di kawasan hutan lindung ataupun lahan masyarakat, mereka dapat membuat pengaduan ke lembaga sertifikasi maupun pihak yang berwenang untuk melakukan penindakan kepada industri tersebut. Hal ini dapat dilakukan pula oleh pemegang izin Perhutanan Sosial (PS) yang berbatasan dengan areal konsesi industri HHK. Pemegang izin PS dapat melakukan patroli sembari mengawasi industri HHK yang berada di sekitar izin PS masyarakat.