Tidak ada seorang yang tertinggal menjadi kata kunci dalam merencanakan pembangunan. Tidak terkecuali pembangunan di tingkat desa. Setiap pembangunan infrastruktur atau pengembangan sumber daya manusia harus mengakomodir semua orang yang berada di desa termasuk kelompok rentan. Perempuan, perempuan kepala keluarga, anak, penyandang disabilitas, komunitas adat adalah yang termasuk dalam kelompok rentan.

Kelompok ini masih jarang dilibatkan dalam perumusan keputusan di desa. Karena seringkali dibelenggu oleh stigma bahwa tidak mampu untuk terlibat dalam perumusan keputusan. Perempuan dianggap hanya melakukan pekerjaan domestik, sehingga tidak dilibatkan dalam perumusan keputusan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbang)

“Masyarakat kita cenderung menyamakan jenis kelamin dengan gender. Sehingga perempuan dianggap hanya melahirkan dan menyusui. Padahal konsep gender semua peran atau pekerjaan bisa dilakukan oleh jenis kelamin perempuan dan laki-laki,” kata Revino Staff Fungsional Bidang Sosial Budaya Bappeda Kabupaten Merangin dalam workshop Pembangunan Desa yang Inklusif di Merangin pada 22-23 November yang diselenggarakan oleh KKI Warsi bersama Kemitraan, di Hotel Royal Bangko.

KKI Warsi bekerja sama dengan Kemitraan  mendorong pembangunan desa yang inklusif dengan mengakomodir perempuan dan kelompok rentan untuk terlibat dalam musyawarah desa. Ketidakterwakilan perempuan, disabilitas, lansia, dan kelompok adat Orang Rimba dan Talang Mamak berakibat pada belum terakomodasinya kelompok rentan dan marginal dalam pembangunan. Padahal seharusnya pembangunan mengakomodasi semua kebutuhan masyarakat. 

Revino Staff Fungsional Bidang Sosial Budaya Bappeda Kabupaten Merangin dalam workshop Pembangunan Desa yang Inklusif

“Harapan kita dalam konsep perencanaan pembangunan kita harus paham gender dan kelompok rentan.  Dasar hukumnya sudah ada, tinggal desa menerapkannya. Sehingga Suku Anak Dalam (sebutan lain untuk Orang Rimba dan Talang Mamak) terakomodir dengan pembangunan,” kata Revino.

Oleh karena itu, setiap pemerintah desa harus mengidentifikasi keberadaan kelompok rentan  di desa. Data ini diinput ke dalam satu sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Dengan adanya data terkait jumlah penyandang disabilitas, lansia, dan kelompok adat terpencil dapat merencanakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan. Data tersebut kemudian bisa digunakan untuk acuan dalam pembangunan inklusif.

Andrie Fransusman Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Merangin menjadi narasumber kegiatan workshop

“Kita sulit mengetahui apa yang mereka butuhkan karena mereka tidak kita libatkan, jadi ini kewajiban pemdes untuk melibatkannya, bukan mengucilkan mereka. Kalau mereka tidak bisa dilibatkan, maka keinginan mereka tidak bisa terwujud,” kata Andrie Fransusman Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Merangin.

Meski masih jarang perempuan dan kelompok rentan terlibat dalam pengambilan keputusan dalam Musrenbang desa. Beberapa desa sudah mengakomodir kebutuhan pengembangan sumber daya perempuan dan suku Orang Rimba dalam pembangunan desa, salah satunya melalui kegiatan pengembangan keterampilan.

“Dana desa turun kami juga menganggarkan pemberdayaan perempuan salah satunya pelatihan menjahit, anyaman, tata boga. Mungkin ke depan dengan mulai melibatkan perempuan dan kelompok rentan dalam musrenbang dapat merencanakan pembangunan yang lebih transparan,” kata Ayep Kades Pelakar Jaya. 

Foto bersama Pemerintah Desa dan Pemerintah Kabupaten Tebo dan Merangin dalam kegiatan Workshop