Gentar langsung berbinar, melihat sungai kecil yang airnya mengalir tenang. Perlahan dia mendekat, membungkuk dan melihat dengan seksama. Daun-daun kecil di tepi sungai itu tercabik membentuk huruf u. Naluri berburunya keluar. Sigap dia membuka lobang di pinggir sungai, tepat di bawah daun separuh sobek itu. Setelah terbuka cukup lebar, ia memasukkan tangan kirinya ke dalam lobang. Dia terus memanjangkan tangannya, hingga pipinya menyentuh tanah pinggir sungai.

Meski di posisi sulit, wajahnya yang setengah miring itu, berbinar hebat. Tangannya telah menggapai sesuatu bercangkang. Perlahan ditariknya keluar, benar saja sebentuk kura-kura ukuran sedang terangkat di tangannya. Kura-kura air tawar, dalam bahasa rimba di sebut sebodo.  Hewan itu tau dia telah tertangkap dan menyembunyikan kaki dan kepalanya ke dalam cangkangnya yang keras.

Melihat Gentar, Meratai atau yang biasa disapa Bepak Bejoget dan Ngeretek turut serta turun ke sungai, mereka melakukan hal yang sama. Menelisik lobang di pinggir sungai dan memulai aksi perburuan itu.  Riuh mereka menggali lobang-demi lobang, berharap hewan yang menjadi makanan terkategori terenak di  Orang Rimba, itu, terus berhasil di dapatkan.  Benar saja, usaha mereka menghasilkan, satu persatu mereka menarik keluar sebodo dari sarangnya.

Supaya sebodo yang telah berhasil ditangkap tidak hilang, hewan tangkapan itu di pematang sungai, dengan posisi terbalik. Setalah cukup banyak terkumpul hewan itu di masukkan ke dalam karung. Hari itu mereka beruntung, lebih beruntung lagi Ngeretek bisa mendapatkan sebodo dengan ukuran terbesar, dengan diameter lebih dari 30 cm.

Wajah bahagia terlihat dari para Orang Rimba-suku asli Jambi yang masih menggantungkan hidup dari berburu dan meramu. Ini juga yang membuat mereka sanggup berjalan jauh, demi berburu untuk mendapatkan pasokan makanan bagi keluarganya. Seperti kali ini berburu hewan ini dilakukan di pinggir Kota Jambi yang masih ada hutan, berjarak ratusan kilometer dari ‘genah’-pemukiman mereka di Taman Nasional Bukit Dua Belas. Awalnya kunjungan ke Kota Jambi untuk suatu kegiatan lain, hanya saja ketika melihat ada peluang untuk berburu, mereka tetap menjalankan kebiasaannnya itu. Uniknya meski di alur sungai itu banyak sekali yang diduga berisi sebodo, mereka tidak mengambil semua. Masing-masing orang hanya mengambil maksimal 6 ekor. Bagi Orang Rimba berburu hanya untuk kebutuhan makan sesaat itu, tidak untuk distok untuk beberapa waktu.

Nioma, penengkulan, oleh-oleh nan beik untuk keluarga (ini buah tangan, oleh-oleh yang baik untuk keluarga),”kata Gentar, yang berhasil mengumpulkan enam ekor sebodo.

Sebodo, sejatinya adalah makanan kesukaan untuk perempuan rimba, membawa buruan ini akan menjadi pembuktian  keahlian berburu, sebagai kemampuan terbaik  Orang Rimba menjadi diakui. “Kamia, belik ke genah, hopi bewo sen hopi ngepo, tapi hopi bewo louk, ei hopi melawon (Kami kalau pulang ke rumah, tanpa bawa uang tidak apa-apa, tapi kalau tidak bawa hasil buruan, tandanya tidak hebat),” sambung Gentar.

Membawa hewan buruan, merupakan harga diri bagi lelaki rimba. Berburu adalah keahlian yang menjadi nilai dan penghargaan terhadap keberadaan lelaki dewasa apalagi jika sudah berumah tangga. Ini juga yang menyebabkan Gentar dan Orang Rimba lainnya, tidak bersedia menjual hasil buruannya dan menggantikannya dengan uang. “Eh hopi ndok diganti sen (eh tidak mau di ganti uang),” kata Ngeretek yang berhasil mendapatkan sebodo paling besar dengan diameter lebih dari 30 cm.

Baginya uang seberapapun tidak akan menggantikan sebodo yang telah ditangkapnya. Makanya ia menjaga sebodo dengan baik sampai waktunya kembali ke pemukiman mereka di Bukit Dua Belas. Sebodo berbeda dengan hewan buruan lain, membawanya pulang ke rumah selain sebagai perlambang kehebatan pria, juga sebagai lambang cinta kasih kepada istri.

“Sebodo paling enak hatinya, makanan betina (perempuan rimba secara umum disebut betina) ),” kata Tumenggung Njalo. Selain hati jika beruntung dalam badan sebodo itu juga terdapat telur, bagian terenak lainnya. Selebihnya daging dengan lemak yang cukup banyak, menjadikan sebodo santapan yang lezat. Cara pengolahannyapun sederhana, sebodo dibersihkan isi perutnya, kemudian dikembalikan ke dalam cangkang dan dimasak langsung dengan menggunakan cangkangnya itu.

Meyakini sebodo adalah buraun terenak, membuat Orang Rimba sanggup berjalan jauh. Malahan pernah mereka sampai ke Riau, menghabiskan biaya lebih Rp 1 juta untuk perjalanan dan membawa pulang beberapa sebodo. Secara hitung-hitungan angka, tidak sebanding apa yang dikeluarkan dengan yang dihasilkan. Namun ketika bicara harga diri dan cinta, semua nilai angka menjadi sirna.

Butuh Hutan

Untuk menjalankan tradisi ini Orang Rimba membutuhkan alam yang mendukung, hutan rimba dengan flora dan fauna yang ada di dalamnya. Namun kini tradisi meramu dan berburu yang menjadi tradisi Orang Rimba, hari demi hari menjadi semakin sulit untuk di jalankan. Penyusutan hutan dan pertambahan populasi menjadikan tradisi ini semakin sulit dijalankan. Orang Rimba berharap hutannya tetap ada, tetap dipelihara.

“Kami nioma di rimba, harop rimba hopi bulih habiy, rimba tetap ada,” demikian harapan Meratai yang biasa di sapa dengan Bepak Bejoget, Orang Rimba lainnya.

Dia menyatakan selama ini, kehidupan di rimba menjadi bermakna ketika mereka bisa menjalankan tradisi sesuai. Dengan pola berburu yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup Orang Rimba mampu menjaga keseimbangan  dan ketesedian pasokan  di alam. Ketika habitatnya yang beralih fungsi dan semakin menyempit disitu keresahan itu muncul. Mendukung Orang Rimba mempertahankan hutan dan mendukung upaya-upaya perlindungan dan memulihkan hutan, sejatinya menjadi tanggung jawab kita bersama.

“Orang Rimba merupakan bagian integral dari ekosistem alam. Dengan keahlian dalam berburu dan meramu, mereka telah menjaga keseimbangan ekosistem dan melestarikan keanekaragaman hayati selama berabad-abad. Hutan bagi mereka adalah sumber kehidupan, tempat bernaung, dan juga merupakan bagian dari spiritualitas serta budaya mereka yang kaya,”kata Sukmareni, Koordinator Divisi Komunikasi KKI Warsi, organisasi yang aktif melakukan pendampingan pada masyarakat adat.  

Namun, saat ini, Orang Rimba menghadapi ancaman serius akibat deforestasi dan konversi hutan menjadi lahan pertanian perkebunan  serta aktivitas tambang.  Hutan yang selama ini mereka andalkan semakin berkurang, mengancam tidak hanya mata pencaharian mereka tetapi juga warisan budaya yang telah diwariskan turun-temurun.

Di Hari Masyarakat Adat 2024 ini, kita menyoroti pentingnya perlindungan terhadap hak-hak Orang Rimba serta upaya pelestarian hutan. Mereka tidak hanya hidup dari berburu dan meramu, tetapi juga memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang mendukung kehidupan banyak spesies lain, termasuk manusia. Hutan yang dikelola oleh Orang Rimba berfungsi sebagai penyangga terhadap perubahan iklim dan bencana alam, serta sebagai sumber daya penting bagi masyarakat luas.

Kehilangan hutan berdampak tidak hanya pada komunitas adat seperti Orang Rimba tetapi juga pada seluruh planet kita. Hutan yang hilang berkontribusi pada perubahan iklim, penurunan kualitas udara, dan hilangnya keanekaragaman hayati. “Melindungi hutan dan mendukung hak-hak Orang Rimba adalah langkah penting dalam mencapai keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan global,”kata Sukmareni.

Untuk itu lanjut Reni, di moment hari Masyarakat Adat ini, pihaknya menghimbau semua pihak untuk mendukung hak-hak masyarakat adat dan perlindungan hutan, serta terlibat aktiv dalam upaya memulihkan bumi.  “Mari kita bersama-sama merayakan warisan budaya Orang Rimba dan berkomitmen untuk melindungi hutan mereka. Melalui tindakan kita, kita dapat membantu memastikan bahwa tradisi yang berharga ini dapat terus ada dan berkontribusi pada keseimbangan ekosistem yang sehat untuk generasi mendatang, tidak hanya Orang Rimba tapi bagi kita semua penduduk bumi,” pungkas Reni.