Provinsi Jambi memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Kawasan hiutan tersebut diklasifikasi dalam beberapa fungsi Kawasan yaitu pada Kawasan Konservasi 696.334 ha, Hutan Lindung (HL) 181.548 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 259.491 ha, Hutan Produksi tetap (HP) 968.590 ha, dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) 11.423 ha. Kawasan Hutan Jambi memiliki potensi perdagangan kayu yang sangat besar. Melihat besarnya potensi kayu pada kawasan hutan produksi di Jambi menjadi logis. Jambi sebagai salah satu penopang industri kayu nasional baik untuk kebutuhan ekspor maupun dalam negeri, sehingga di tahun 2018 nilai ekspor kayu atau bahan dari kayu dari Provinsi Jambi mencapai 52.154 ton dengan nilai mencapai USD 41.979.115 dan pada tahun 2019, nilai ekspor kayu Provinsi Jambi bahkan terus mengalami peningkatan hingga mencapai 67.119 ton atau setara USD 49.502.007. Hal tersebut membuat implementasi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) adalah suatu keharusan untuk diterapkan oleh para pemangku kepentingan.

Namun dalam pelaksanaan SVLK yang menjadi dasar dalam pemanfaatan hasil hutan baik itu kayu ataupun bukan kayu masih berorientasi pada bisnis korporasi besar sedangkan amanah dari peraturan perudang-undangan adalah termasuk pemangku kepentingan atau unit manajemen baik itu unit manajemen kecil ataupun besar, dan dalam hal ini termasuk pemilik persetujuan perhutanan sosial seperti Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemitraan, Hutan Adat, sehingga perlu pembenahan bahwa skema perhutanan sosial juga harus difasilitasi untuk terlibat dalam proses pemberian SVLK. Kajian ini akan menfokuskan bagaimana KPH selaku pemangku kepentingan ditingkat tapak dalam pengelolaan hutan memiliki peran strategis dalam mendampingi dan menfasilitasi percepatan penerapan SVLK di Perhutanan sosial.

Optimalisasi Tugas dan Wewenang KPH

Jika dilihat dari tugas dan wewenang yangi dimilikinya, KPH sebenarnya tidak hanya dapat dilibatkan dalam fasilitasi implementasi SVLK namun juga harus dilibatkan dalam pemantauan dari implementasi SVLK itu sendiri. Hal ini tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang juga selaras dengan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Namun hal itu tidak disebutkan secara eksplisit bahwa KPH memiliki wewenang dalam pemantauan SVLK. Di dalam UU Nomor 23 tersebut, organisasi KPH disebutkan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan dan disebutkan kewenangannya untuk melakukan pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pengelolaan hutan, yang salah satunya pengendalian pengawasan implementasi SVLK karena merupakan kegiatan yang dilakukan di dalam Kawasan hutan. Hal tersebut juga ditegaskan juga pada Peraturan Menteri LHK No. 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi pada Pasal 19 dan Pasal 23 sehingga KPH tinggal menjalankan kewajiban sesuai dengan amanah yang ada di dalam peraturan tersebut.

KPH memiliki potensi yang signifikan untuk berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan dan pembangunan hijau di Indonesia dengan melindungi sumber daya alam dan berkontribusi dalam menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), serta meningkatkan mata pencaharian masyarakat lokal dan mengembangkan konsep-konsep ekonomi yang berkelanjutan. Terutama KPH Produksi memiliki potensi tinggi untuk mengembangkan manajemen yang baik dan rencana bisnis berdasarkan komoditas utama hutan dan produk bukan kayu, termasuk kayu yang dipanen secara lestari, produk dan jasa hutan bukan kayu seperti  rotan, kakao, bambu, karet, gaharu, madu, obat tanaman, pariwisata, dan lain sebagainya. Pengelola KPH dapat mempromosikan solusi dan konsep inovatif untuk melibatkan masyarakat dan sektor swasta dalam menyusun rantai nilai yang berkelanjutan bagi produk kayu dan hasil hutan bukan kayu, termasuk produksi, pengolahan dan pemasaran, memberikan pekerjaan tambahan lokal dan pendapatan.

Disamping itu KPH Produksi memiliki tugas lebih berat terutama pada areal yang memiliki izin konsesi perusahaan. Hal ini dikarena KPH juga bertanggungjawab memastikan apakah dalam pengeloaan areal pada kawasan hutan produksi sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip pengelolaan hutan lestari. Hal ini tentu tidak menutup kemungkinan pada perizinan pemanfaatan kayu di perhutanan sosial disamping pengelolaan oleh korporasi di bidang kehutanan seperti pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Tanaman Industri.

Meningkatnya kebutuhan dunia terkait dengan pemanfaatan kayu melahirkan perdagangan kayu yang mewajibkan untuk memiliki asal usul yang jelas serta menggunakan cara yang legal dalam memperolehnya. Maka dari itu perlu pemantauan yang dilakukan oleh KPH selaku pelaksana teknis di tingkat tapak yang setiap hari berhubungan langsung dengan pemegang izin pemanfaatan kayu baik korporasi maupun pada perhutanan sosial. Selain itu, dalam rangka lacak balak asal usul kayu sejatinya tantangan bagi KPH sendiri tentu juga harus bisa memantau kemana kayu tersebut dikirim, mulai dari gudang penampungan kayu hingga industri pengolah kayu.

Lacak balak penting dilakukan karena untuk memastikan bahwa asal kayu sesuai dengan dokumen yang ada. Karena di beberapa kasus, terdapat indikasi bahwa terjadi pemalsuan dokumen terkait dengan asal kayu yang beredar. Misalnya saja dokumen kayu berasal dari Tempat Penampungan Kayu (TPK) yang sudah tidak aktif lagi namun masih mengeluarkan dokumen. KPH sebagai pemangku kawasan memiliki wewenang untuk memeriksa asal – usul kayu dapat mendatangi secara acak pelaku industri yang diduga melakukan pelanggaran dan mengambil hasil hutan kayu tanpa dokumen yang legal.

Saat ini untuk mendapatkan SVLK, ada sebanyak 25 perusahaan penilai atau lembaga sertifikasi yang berhak melakukan sertifikasi yang mana 25 lembaga itu telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), dan diawasi oleh Kementerian LHK serta Pemantau Independen. Adapun proses mengurus SVLK yang meliputi kegiatan pelaksanaan penilaian dan verifikasi legalitas kayu, terdiri dari permohonan, perencanaan, pelaksanaan, penerbitan sertifikat legalitas dan sertifikasi ulang, penilikan, hingga audit khusus. Setiap proses tersebut penting pelibatan KPH unit pengelola ditingkat tapak dari Kementerian LHK.

Selain pengembangan skema implementasi SVLK pada wilayah KPH, perlu juga dilakukan pengembangan pada wilayah administrasi kabupaten atau Cabang Dinas Kehutanan (CDK). Peran CDK dalam penyelenggaraan administrasi guna mencapai efisiensi dan kecepatan dalam pelayanan publik berpengaruh terhadap implementasi SVLK. Tidak hanya layanan publik terkait permohonan untuk pengusulan SVLK, namun juga pemberian informasi terkait hasil penilaian dan verifikasi dari unit manajemen hingga post auditee per-periode implementasi SVLK pada unit manajemen tersebut.

Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dapat memaksimalkan peran KPH dalam pengawasan serta pemantauan implementasi SVLK. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan pengawasan dan pemantauan implementasi SVLK ke dalam anggaran dan rencana kerja di KPH. Amanah yang telah diberikan melalui Permen LHK Nomor 8 tahun 2021 agar KPH dapat melakukan pemantauan dan pengawasan pengelolaan hutan harus segera dijalankan dengan memasukkan pengawasan dan pemantauan implementasi SVLK dalam agenda prioritas di KPH.