Perlindungan Hak-hak

Suku-suku Minoritas Marginal

Hutan merupakan tempat gantungan hidup dan berpenghidupan suku-suku minoritas. Sayangnya hutan yang menjadi gantungan hidup mereka tergerus kebijakan yang lebih mementingkan korporasi. Suku marginal dengan pola hidup dalam kelompok-kelompok kecil belum memiliki bergaining position yang setara dengan kelompok masyarakat lainnya sehingga mereka tersingkir dan semakin marginal.

Untuk itulah penting melakukan advokasi dan perjuangan bersama pengakuan hak-hak suku marginal. Hingga saat ini WARSI fokus melakukan advokasi, pendampingan dan menjembatani suku asli marginal untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai warga negara.

Saat ini WARSI bekerja untuk Orang Rimba, Orang Batin Sembilan dan Talang Mamak. Ekosistem tempat tinggal suku ini berada di dataran rendah hingga ke transisi dataran tinggi. Secara tradisional suku-suku minoritas marginal hidup dari sumber daya alam di sekitar mereka terutama bertani, berburu, memanfaatkan hasil hutan. Kawasan dataran rendah tempat hidup suku-suku ini merupakan ekosistem yang paling luas dan mengalami degradasi parah saat ini. Sebagian dari ekosistem dataran rendah ini sudah terlanjur kehilangan hutan dan diganti oleh perkebunan sawit, transmigrasi dan HTI.

Batin IX

Advokasi

Suku Anak Dalam Batin Sembilan adalah kelompok suku lokal yang salah satunya bermukim di Desa Tanjung Lebar, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.

Kesehatan

Batin sembilan merupakan salah satu masyarakat suku minoritas yang tersebar di Kabupaten Muara Jambi, Batanghari dan Sarolangun.

Pendampingan

Batin sembilan merupakan salah satu masyarakat suku minoritas yang tersebar di Kabupaten Muara Jambi, Batanghari dan Sarolangun.

Batin sembilan merupakan salah satu masyarakat suku minoritas yang tersebar di Kabupaten Muara Jambi, Batanghari dan Sarolangun. Pemerintah menamakan komunitas ini Suku Anak Dalam ini, masyarakat Melayu menyebut Mereka dengan sebutan kubu. Konon penamaan Batin Sembilan ini merujuk kepada nama-nama sungai yang didiami oleh keturunan Bayang Lais yang dinikahi Maruhun Sunsang Romo. Keturunan Bayang Lais ini, memiliki sembilan anak, yang mewarisi dan memiliki kekuasaan di Sembilan anak sungai yang disebut dengan Batin. Sungai yang mereka kuasai adalah Sungai Bulian, Sungai Bahar, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Telisak, Sungai Sekamis, Sungai Semusir, dan Sungai Burung Hantu. Hingga kini wilayah-wilayah ini masih ditempati oleh suku ini, walau sebagian besarnya sudah mengalami asimilasi dengan komunitas lain yang datang ke wilayah ini.

Pemerintah dengan kebijakannya telah menghadirkan berbagai model pembangunan di wilayah komunitas Batin Sembilan. Sayangnya pembangunan yang dilakukan kurang menyentuh keberadaan komunitas ini. Kandungan sumber daya alam yang melimpah di wilayah penghidupan Batin Sembilan telah menggerakkan pemegang kekuasaan di wilayah itu untuk mengeruk sumber daya yang ada. Mulai sejak zaman penjajahan Belanda, yang menggali sumur-sumur minyak di wilayah Bajubang, Tampino dan Kenali Asam Atas merupakan wilayah penghidupan Batin Sembilan. Pasca era orde baru, wilayah ini semakin ramai dengan hadirnya perkebunan sawit dan hutan tanaman industri serta transmigrasi. Kenyataan ini menyebabkan Batin Sembilan semakin tersedak dan bertahan hidup dengan semakin masuk ke dalam hutan. Sebagian lain mencoba berbaur dan berasimilasi untuk bertahan hidup.

WARSI hadir bersama Batin Sembilan di wilayah ini untuk memperjuangkan penghidupan yang layak dan adanya jaminan untuk kesetaraan bagi anak-anak keturunan Batin Sembilan di masa depan dengan pendampingan dan fasilitasi sekolah formal dan layanan kesehatan.

Talang Mamak

Advokasi

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan.

Pendidikan

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan.

Kesehatan

Your content goes here. Edit or remove this text inline or in the module Content settings. You can also style every aspect of this content in the module Design settings and even apply custom CSS to this text in the module Advanced settings.

Pendampingan

Your content goes here. Edit or remove this text inline or in the module Content settings. You can also style every aspect of this content in the module Design settings and even apply custom CSS to this text in the module Advanced settings.

Talang Mamak secara umum adalah salah satu etnis yang kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan yang dahulunya hidup dari dengan cara berburu dan meramu, serta mengolah sumber daya alam untuk dikonsumsi secara ego-keluarga maupun kommunal. Secara garis besar, Talang Mamak menyebar di sekitar Bukit Tigapuluh, yang secara administrasi berada di empat kecamatan yaitu Batang Gangsal, Kelayang, dan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Satu kelompok berada di Dusun Simarantihan, Desa Suo-suo, Kecamatan Batang Sumai, Kabupaten Tebo Propinsi Jambi.

Masyarakat yang hidup dengan sistem peladangan di bagian pedalaman merasakan bagaimana hutan yang menjadi sandaran hidup mereka tidak bisa secara penuh dan utuh mengklaim sebagai wilayah penghidupan mereka dan dikelola secara berdasarkan kearifan yang mereka miliki. Hal ini jugalah yang menjadi persoalan Talang Mamak, konsesi dan peruntukan lahan yang ditentukan pemerintah juga mengusik ketenangan komunitas yang sudah ratusan tahun hidup bersama dengan hutannya. Perusahaan-perusahaan logging yang mengunduli hutan, kemudian hadirnya perusahaan sawit menjadi ancaman kehidupan masyarakat Talang Mamak.

Tidak hanya itu, Talang Mamak yang bermukim di sepanjang aliran Sungai Batang Gansal juga memiliki persoalan berhadapan dengan pengelola Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Sejak tahun 2002 TNBT ditetapkan menteri kehutanan sebagai kawasan konservasi, termasuk dalam kawasan ini pemukiman Talang Mamak yang berada di aluran Gansal.

Dengan kondisi ini, WARSI mendorong adanya pengelolaan TN secara kolaborasi dengan masyarakat Talang Mamak dan mengakui hak kelola Talang Mamak di wilayah itu. Melihat dari kemarginalanya, pendidikan dan layanan kesehatan juga menjadi hal penting untuk kelangsungan Talang Mamak ke depannya. Ini juga menjadi fokus kegiatan WARSI bersama komunitas yang konon berasal dari keturunan ketifa nabi Adam ini.

Orang Rimba

Advokasi

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan.

Pendidikan

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan.

Kesehatan

Your content goes here. Edit or remove this text inline or in the module Content settings. You can also style every aspect of this content in the module Design settings and even apply custom CSS to this text in the module Advanced settings.

Pendampingan

Your content goes here. Edit or remove this text inline or in the module Content settings. You can also style every aspect of this content in the module Design settings and even apply custom CSS to this text in the module Advanced settings.

Orang rimba adalah sebutan lain yang digunakan oleh Orang Kubu untuk menamakan dirinya. Penggunaan istilah Orang Rimba didasarkan pada pola kehidupan yang dilakukan sejak nenek moyang mereka yang sangat tergantung dengan hutan dan hasil-hasil hutan atau oleh pemerintah disebut dengan istilah Suku Anak Dalam (SAD), sebuah konsep lain yang menggambarkan kehidupan Orang Rimba di dalam hutan.

Hidup dengan meramu dan berburu hasil hutan dalam kelompok-kelompok kecil. Penamaan kelompok mengacu pada anak-anak sungai tempat kelompok tinggal. Orang Rimba hingga kini sebagian besar masih menganut pola hidup semi nomadik. Mereka akan berpindah tempat ketika ada kematian anggota keluarganya, yang dikenal dengan istilah melangun. Lamanya masa melangun tergantung dengan perasaan sedih yang di hati anggota kelompok yang ditinggalkan.

Secara garis besar wilayah penghidupan Orang Rimba bisa di bagi tiga kawasan besar, yaitu sepanjang jalan lintas Sumatera, Bukit Duabelas dan Selatan Bukit Tigapuluh. Kegiatan utama yang dilakukan WARSI bersama Orang Rimba adalah advokasi ruang hidup Orang Rimba, memfasilitasi layanan pendidikan berupa baca tulis dan hitung di tingkat dasar. Kemudian menjembatani Orang Rimba ke jenjang pendidikan formal.

Hilangnya hutan juga berimplikasi pada angka kesakitan dan kematian Orang Rimba, untuk itulah sejak lama WARSI memberikan layanan kesehatan dasar dan menjembatani Orang Rimba ke layanan kesehatan publik, sekaligus mengadvokasikan supaya Orang Rimba bisa mengakses layanan kesehatan gratis.

WARSI juga bersama Orang Rimba melakukan kegiatan untuk menopang perekonomian mereka. Disadari bahwa kerusakan hutan yang sudah sangat parah, akan menyulitkan orang rimba masa datang untuk bertahan hidup untuk itulah perlu adanya pendampingan supaya Orang Rimba memiliki sumber perekonomian baru.

Orang Rimba, Kubu dan Suku Anak Dalam (SAD)

Orang Rimba, Kubu dan Suku Anak Dalam (SAD)

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan.

Komunitas yang tinggal di dalam hutan di Provinsi Jambi menamakan diri mereka dengan sebutan Orang Rimba. Penyebutan Rimba mengacu pada tempat tinggal komunitas ini yang memilih berada di dalam hutan dataran rendah. Pola hidup mereka semi nomadik (berpindah) dengan sumber penghidupan dari berburu dan meramu hasil hutan. Tinggal dalam pondok-pondok sederhana dari material yang berada di hutan, kayu-kayu untuk tiang dan lantai, daun serdang untuk atap, pengikatnya menggunakan rotan. Cara berpakaian komunitas ini menggunakan cawat dan kemben untuk menutup organ vitalnya. Kelompok masyarakat ini menganut kepercayaan kepada dewa-dewa dan arwah leluhur.

Dengan pola kehidupan yang dijalani kelompok ini, masyarakat Melayu menyebutnya dengan nama Kubu. Penamaan Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini. Sedangkan pemerintah Provinsi Jambi menamakan kelompok masyarakat yang tinggal di dalam hutan dan tidak menganut norma yang sama dengan masyarakat Melayu ini dengan sebutan Suku Anak Dalam yang memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Sebutan Suku Anak Dalam tidak hanya ditujukan untuk Orang Rimba, namun juga ditujukan kepada komunitas atau suku lain yang terdapat di Jambi, yaitu Batin Sembilan dan Talang Mamak yang pola hidupnya ada kemiripan namun tidak sama dengan Orang Rimba. Batin Sembilan dan Talang Mamak merupakan komunitas yang berbeda dengan Orang Rimba terutama dalam hal perpindahan dan pola hidup. Kedua suku ini hidup relatif menetap dan menerapkan sistem pertanian petalangan sebagai sumber penghidupan mereka.

Sedangkan Kementerian Sosial menamakan kelompok masyarakat yang belum menganut norma yang berlaku umum dan tinggal di tempat terpencil dan berada di dalam hutan dengan nama Komunitas Adat Terpencil (KAT). Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Pada beberapa komunitas langkah yang dilakukan ini mampu membuat mereka meninggalkan daerah asalnya, dan bergabung dengan desa-desa terdekat atau membuat desa sendiri.

Populasi dan sebaran Orang Rimba.
Orang Rimba, hidup secara berkelompok di hulu-hulu sungai di dalam hutan. Konsentrasi terbesar Orang Rimba di Jambi berada di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) yang secara geografis terletak antara 102° 30? 00?? – 102° 55? 00?? BT dan 10° 45? 00?? -20° 00? 00?? LS, dengan jumlah 2.546 jiwa (survei 2017) dan sebagian kecil ada di wilayah Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) sebanyak 474 jiwa (survei 2013). Orang Rimba juga dapat ditemukan di hutan-hutan sekunder dan perkebunan kelapa sawit sepanjang jalur lintas Sumatera hingga ke batas Sumatera Selatan, dengan jumlah populasi 1.373 jiwa (survei 2013).

Asal Usul
Terkait asal usul suku yang hingga kini masih tergolong kelompok marginal ini, dijumpai beberapa versi. Sebagian Orang Rimba meyakini bahwa mereka berasal dari kerajaan pagaruyung. Sejumlah pasukan diutus raja pagaruyung untuk melakukan perjalanan ke Jambi mengemban misi kerajaan, namun gagal menjalankan misinya. Tapi untuk kembali ke pagaruyung mereka malu, sehingga memilih melarikan diri ke hutan. Dan kemudian berkembang membentuk kelompok-kelompok sendiri.

Versi lainnya menyebutkan Orang Rimba berasal dari sisa sisa pasukan kerajaan Sriwijaya yang kalah berperang melawan Belanda, dan kemudian melarikan diri ke hutan. Versi lainnya menyebutkan kelompok ini berasal dari buah gelumpang.

Dari sekian banyak versi asal usul Orang Rimba, memang sulit untuk dibuktikan karena tidak ditemukan adanya bukti-bukti yang mengarah kesana. Menurut kajian antropologi Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, ketiga versi ini sulit bisa di klaim mendekati kebenaran asal usul Orang Rimba. Karena jika mereka berasal dari Kerajaan Pagaruyung, ataupun Sriwijaya maka dalam kehidupan mereka seharusnya juga telah mengenal peradaban yang ada dimasa itu, yang mungkin diturunkan kepada anak cucunya, seperti membuat rumah, bercocok tanam dan lainnya. Demikian juga dengan penggunaan bahasa, terdapat perbedaan dialek dan pelafalan huruf. Perubahan fonologi membutuhkan waktu yang sangat lama mencapai ratusan ribu tahun.

Kemungkinan besar Orang Rimba berasal dari suku Melayu Proto atau “Melayu Asli” masuk golongan Austronesia yang berasal dari Yunnan. Kelompok pertama dikenal sebagai Melayu Proto berpindah ke Asia Tenggara pada Zaman Batu Baru (2500 SM). Suku melayu proto ini juga yang kemudian sampai di dataran Jambi. Mereka sudah mengalami proses perubahan sosial beribu tahun dan kebanyakan terisolasi di dalam hutan. Ketika budaya baru seperti Hindu, Budha dan terakhir Islam masuk dan mempengaruhi budaya masyarakat lainnya, kelompok Orang Rimba yang berada di hutan tidak tersentuh sama sekali. Sehingga mereka tidak mengalami transformasi perubahan sosial. Sementara budaya-budaya lain telah berkembang pesat dan mempengaruhi kehidupan masyarakat melayu yang lainnya, Orang Rimba malah justru sebaliknya, mereka masih berpegang teguh dengan kebiasaan dan budaya mereka yang diwariskan leluhur dari zaman itu. Hidup secara nomaden dengan mengandalkan kehidupan dari berburu dan meramu.