Pesisir timur Jambi dikenal dengan potensi kelapa yang cukup tinggi. Kelapa dijual dalam bentuk bijian yang sudah di lepas sabutnya. Kelapa ini dikirim ke kota-kota di Provinsi Jambi, maupun ke provinsi tetangga. Tentu saja  ternyata menyisakan limbah sabut kelapa yang banyak jika tidak dikelola dengan baik. Limbah sabut kelapa sebagian terbiar begitu saja dan bahkan ada yang membakarnya. Tentu hal ini problem berikutnya pencemaran udara dan yang jelas berkontribusi pada pelepasan karbondioksida. Padahal sabut kelapa memiliki potensi untuk diolah. Salah satunya menjadi cocopeat, media taman.

Cocopeat dipakai sebagai pengganti tanah, bersama tanah atau berdiri sendiri dan juga bisa sebagai media hidroponik. Cocopeat termasuk ke dalam media tanam hidroponik yang bersifat organik. Salah satu manfaat jika menggunakan cocopeat sebagai media tanam hidroponik ialah dapat menahan air serta memiliki unsur kimia lumayan banyak. Cocopeat mempunyai ph antara 5,0 hingga 6,8 sehingga sangat baik untuk pertumbuhan tanaman apapun.

Sebagai media tanam, cocopeat memiliki pori-pori yang memudahkan pertukaran udara dan masuknya sinar matahari. Kandungan Trichoderma molds-nya, sejenis enzim dari jamur, dapat mengurangi penyakit tanah sehingga cocopeat dapat menjaga tanah tetap gembur dan subur. Karena itulah cocopeat sangat akrab dalam urban farming, pertanian yang dikelola masyarakat kota di lahan sempit dan terbatas. Para penggemar urban farming baik melalui bertani hidronik ataupun menggunakan tanah cocopeat menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan terhadap media tanam. Di sisi lain, cocopeat akan menjadi solusi ekonomi terbaik petani kelapa. 

            Di Desa Tungkal 1 di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, termasuk penghasil kelapa. Limbah sabut hanya dijadikan sebagai penimbun untuk meninggikan jalan, dan sebagian hanya menjadi limbah yang disimpan begitu saja bahkan dibakar.

Kelapa adalah sumber ekonomi masyarakat, sebagian menggabungkannya dengan menjadi nelayan. Dari sebanyak 668 kepala keluarga di desa ini, rata-rata memiliki kebun kelapa sendiri dengan menghasilkan limbah sabut kelapa 50 ton dalam sebulannya. Melihat ini, Pak Malwin atau yang dikenal ‘Iwin’, warga Desa Tungkal 1 Parit 9, merasa resah. Berbekal ilmu dari SMA Pertanian dan amanah yang diemban sejak tahun 2017 sebagai ketua Bumdes Maju Bersama, mulai ada ide untuk mengolah sabut kelapa. Menggagas pembuatan cocopeat. Mengolahnya tidak terlalu sulit. Pertama, sabut kelapa yang sudah bersih dari batuk kelapa dijemur hingga kadar airnya berkurang. Kemudian, sabut yang sudah kering dimasukan ke dalam alat penggiling. Selanjutnya, pisahkan antara cocopeat dan cocofiber. Cocopeat ini dipacking dan siap diedarkan. Secara bertahan kini Bumdes mampu mengolah 20 ton limbah sabut setiap bulannya.

Untuk saat ini, Iwin memulai pemasarannya dari tingkat desa, kemudian tingkat Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Timur, bahkan sampai ke Kota Pekanbaru, Riau. Harga jual yang dipatok untuk satu karung dengan berat 5 kg ialah Rp 35.000,. Bumdes sempat kewalahan menerima pesanan, karena hanya memiliki satu mesin penghancur. Bumdes berharap bisa memiliki tambahan mesin, sehingga seluruh limbah sabut bisa terolah dan tentu memenuhi pasar yang saat ini sedang bergeliat naik.

Apalagi saat ini aktivitas urban farming menjadi hobi baru penduduk kota. Ditambah dengan adanya wabah Covid 19 yang mengharuskan orang melakukan work from home, banyak warga yang menghilangkan kebosanan dengan berkebun di pekarangan dengan media tanam cocopeat.

Dengan pemanfaatan limbah sabut kelapa menjadi cocopeat, kini tidak ada lagi limbah sabut kelapa yang terbuang percuma. Bagi sebagian masyarakat, hal ini menjadi lapangan kerja yang baru. Dan, menjadi media tanam yang baru dan efektif untuk tanaman masyarakat. Dengan begini, alam menjadi terjaga dan ekonomi masyarakat menjadi bertambah. Kita yang membeli cocopeat untuk media tanam di rumah, secara tidak langsung juga sudah membantu melestarikan alam, karena dengan membeli kita sudah mengurangi penumpukan limbah sabut kelapa. (Teguh Al Ikhsan)