Perdagangan karbon menjadi pembicaraan hangat saat ini sebagai salah satu upaya yang ditempuh untuk mitigasi perubahan iklim dan penurunan emisi. Carbon trade atau perdagangan karbon memungkinkan bagi produsen emisi untuk memberikan insentif kepada masyarakat atau negara yang melakukan kegiatan penjagaan hutan. Pemberian insentif dalam perdagangan karbon berdasarkan pada penghitungan kemampuan suatu kawasan hutan menyimpan cadangan karbon dalam ton.
Sementara di kawasan perhutanan sosial, masyarakat melakukan penjagaan hutan dengan untuk mengurangi degradasi dan menumbuhkan kawasan hutan. Hal ini berdampak baik pada pengurangan emisi dan meningkatkan kemampuan hutan untuk menyimpan cadangan karbon. Usaha ini pun selaras dengan komitmen Indonesia dalam dokumen nationally determined contribution (NDC) pengurangan emisi melalui sektor mitigasi perubahan iklim melalui pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan atau yang dikenal dengan forest and other land uses (FOLU) Net Sink 2030.
Karena itu, dengan upaya yang dilakukan masyarakat berhak mendapat dukungan, termasuk mendapat pendanaan. Namun, masyarakat mengalami tantangan finansial dan kemampuan teknis mengakses skema perdagangan karbon yang membutuhkan biaya besar untuk validasi dan verifikasi hasil mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Karena itu, Dinas Kehutanan Sumatera Barat dan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menggagas sebuah konsep carbon non-market untuk menggalang dukungan dana atau insentif atas hak karbon bagi masyarakat yang telah menjaga hutan. Konsep carbon non-market ini dicetuskan dengan tujuan masyarakat yang mengelola kawasan hutan melalui perhutanan sosial mendapat hak atas karbon atas upaya dalam menjaga tutupan hutan yang telah dilakukan.
“Carbon non-market yang dimaksud adalah semacam dukungan dana dan kebijakan sebagai reward kepada masyarakat pengelola perhutanan sosial atas upaya yang dilakukannya dalam menjaga hutan melalui patroli dan pengamanan hutan,” kata Adi Junedi Direktur KKI Warsi dalam kegiatan Dialog Kebijakan Menggagas Konsep Carbon Non-market di Sumbar yang diselenggarakan di Padang pada Selasa (1/8/2023).
Dukungan yang ingin dicapai dalam bentuk kebijakan, kegiatan program, dan alokasi pendanaan untuk penyelenggaraan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang tidak menimbulkan transfer hak atas karbon bagi pihak-pihak terkait. Perbedaan mendasar antara carbon market dan carbon non market adalah transfer karbon atau jual-beli kredit karbon hasil kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
“Dalam carbon non-market, pihak yang berkolaborasi tidak melakukan transfer kredit karbon, sehingga tidak terjadi penghitungan ganda pengurangan emisi gas rumah kaca,” katanya.
Sementara itu, dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Regulasi tersebut menjelaskan peran masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial berpeluang ikut serta dalam NEK dan mendapatkan manfaat langsung dari karbon atas upaya mitigasi perubahan iklim yang dilaksanakan oleh masyarakat. Namun, belum ada pengaturan lebih lanjut bagaimana teknis dan pendampingan masyarakat dalam melakukan pengukuran, laporan, dan verifikasi hasil mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
“Gagasan carbon non-market menjadi peluang masyarakat mendapatkan dukungan pendanaan. Sementara ini pemerintah menyiapkan sejauh mana masyarakat mendapat pendampingan dari perencanaan perdagangan karbon, laporan, dan sampai akhir melakukan verifikasi. Rancangan permen baru terkait perdagangan karbon luar negeri dan akan peraturan tambahan untuk melengkapi permen 21, saat ini masih draf,” kata Joko Prihatno Analis Kebijakan Ahli Bidang Perubahan Iklim KLHK.
Gagasan carbon non-market ini juga berangkat dari beberapa program yang diinisiasi oleh KKI Warsi bekerja sama dengan pihak swasta seperti Uniqlo dan Jejak.in untuk memberikan dukungan pendanaan bagi masyarakat lokal yang berada di sekitar hutan Bengkulu. Di Jambi ada pengembangan imbal jasa lingkungan berbasis Payment for Environmental Service di mana masyarakat mendapatkan dukungan dana. Serta di Sumatera Barat ada program Pohon Asuh.
“Program carbon non-market seperti reward ini bukan tidak mungkin dikembangkan juga di Sumatera Barat. Kita tahu komitmen masyarakat menjaga hutan itu luar biasa, berhadapan dengan tindakan ilegal, sehingga penting bagi kita berkolaborasi untuk memberikan apresiasi kepada masyarakat,” kata Yozarwardi Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat.
Ia juga menyebutkan kehutanan merupakan core bisnis utama di Sumatera Barat menjadi slogan sekaligus cita-cita bersama pengelolaan hutan untuk kelestarian dan mendukung ekonomi masyarakat. Tentu ini bukan sebatas slogan saja mengingat hampir setengah dari wilayah Sumatera Barat merupakan kawasan hutan. Banyak kegiatan perekonomian masyarakat yang bertumpu pada sektor kehutanan, seperti pertanian sawah dan kebun masyarakat yang sumber air bertumpu pada hutan.
“Kehutanan menjadi core utama dari kegiatan perekonomian Sumbar,” kata Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Yozarwardi.
Dalam dialog kebijakan yang diadakan, juga diundang sektor usaha yang berada di Sumatera Barat untuk menghimpun dukungan sektor usaha dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar hutan melalui kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR). Turut hadir Jejak.in, salah satu perusahaan teknologi yang sudah melakukan dukungan pendanaan dalam kegiatan pemulihan lahan kritis salah satunya di Bengkulu.
“Untuk mencapai NDC perlu gotong royong. kami dari jejak.in membantu masyarakat rehabilitas lahan. Berkoordinasi dengan perusahaan fasilitasi menanam pohon itu bertujuan untuk mempertahankan tutupan lahan dan peningkatan ekonomi masyarakat,” kata Fakhri Nofal, Board Manager Jejak.in.