Kebakaran hutan dan lahan kembali melanda Provinsi Jambi. Dari pantauan satelit NASA, sepanjang 2019 hingga 8 September terpantau terdapat 8,102 titip panas melanda Provinsi Jambi. Kebakaran hebat ini, jika ditelisik dari Citra Satelit Lansat TM 8 hingga tanggal 31 Agustus 2019 telah menghanguskan lahan seluas 18.584 ha. Dari luas ini, 8,168 ha terjadi di lahan gambut. Lahan Gambut yang terbakar ini, 2,978 ha atau lebih dari 36 persen terjadi di gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter.
“Ini menunjukkan bahwa gambut dalam paling rawan terbakar. Penyebabnya kanalisasi dengan mencincang gambut paling cepat menurunkan muka air gambut di musim kemarau. Ketika kering sanbgmengalami kebakaran dan paling sulit dipadamkan, apalagi pada gambut dalam juga ada gas metan, pada waktu tertentu akan muncul di lahan yang terbakar putaran angin seperti angin puting beliung,”kata Rudi Syaf Direktur Komunitas Konservasi Indonesia WARSI.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa gambut merupakan kawasan yang sangat rawan. Pengelolaannya membutuhkan pengetahuan dan juga pendanaan yang sangat besar. Dalam PP 57 tahun 2016 secara tegas menyatakan bahwa tinggi muka air gambut minimal 40 cm dari permukaan gambut. Namun kenyataannya hingga kini, pengaturan muka air gambut masih belum bisa dipatuhi, sehingga gambut kembali menjadi sangat kering di musim kemarau ini.
Jika menurujuk kepada pemanfaatan lahan gambut, kebakaran terjadi di areal Hutan Lindung Gambut, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Taman Hutan Raya, Lahan Masyarakat dan Taman Nasional. Ini menunjukkan kebakaran teradi hampir di semua fungsi kawasan. “Kebakaran yang timbul ini jika melihat arah pergerakan titik panas, muncul dari pembukaan lahan, hingga merembet hampir ke semua kawasan,”kata Rudi.
Termasuk kawasan lindung yang ikut terbakar, disebbakan karena kawasan lindung juga terpengaruh dengan kanal yang sudah terlanjut di buka dan tersambung dengan kanal-kanal yang dibuat oleh perusahaan. “Dengan terbukanya kanal ini, maka kawasan lindung ikut kehilangan air di musim kemarau, kondisi ini diperburuk oleh perbuatan manusia yang adanya indikasi okupasi di kawasan lindung tersebut,”kata Rudi .
Dikatakan Rudi, Kebakaran hutan dan lahan ini jika merujuk pada penggunaan kawasan terjadi pada areal hutan tanaman industri seluas 3.499 ha, perkebunan sawit 4.359 ha, hak pengelolaan hutan 1.193 ha, lahan restorasi seluas 6.579 ha dan lahan masyarakat seluas 2.954 ha. “Kondisi ini menunjukkan pemegang konsesi di areal gambut tidak mampu melakukan pengelolaan tinggi muka air gambut. “Terkait dengan ini WARSI menyerukan kepada pemerintah untuk mereview kembali izin-izin yang diterbitkan di areal gambut,”kata Rudi.
Dari data kawasan gambut di provinsi Jambi. gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter yang dibebani hak izin konsesi 29,701 dimana 10 persen diantaranya mengalami kebakaran hebat tahun ini. Terkait ini WARSI juga menghimbau penegakan hukum yang jelas dan adil, terhadap pelaku kelalalaian yang menyebabkan kawasan kelolanya mengalami kebakaran,”kata Rudi.
Selain itu, WARSI juga menyerukan kepada pemerintah untuk mengembalikan fungsi lindung, pada kawasan gambut dengan dedalaman lebih dari 3 meter. Untuk perusahaan yang memiliki konsesi di areal gambut untuk dilakukan audit kepatuhan, terhadap perundang-undangan. “Apakah mereka sudah memiliki sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran dan personil untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Jika sikap ini tidak diambil, maka ke depannya, Jambi akan selalu ulang tahun asap dan terus menerus mengeluarkan biaya untuk pemadaman kebakaran