Ketika gambut terbakar, bukan hanya asap yang mengepung warga, tetapi juga sumber penghidupan yang hilang. Saat hujan datang, banjir menutup akses jalan dan merendam sawah dan perkebunan, kembali kehilangan sumber penghidupan. Ditambah dengan konflik perebutan lahan semakin memperumit keadaan. Inilah potret Tanjung Jabung Timur, kabupaten yang 80 persen wilayahnya berupa gambut—sebuah ekosistem rapuh yang menuntut pengelolaan bijak agar pembangunan bisa berlanjut tanpa mengorbankan masa depan.
Pengelolaan ekosistem gambut sangatlah penting untuk ditata kembali. Ekosostem Gambut Tanjabtim memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan lingkungan sekaligus mendorong pembangunan berkelanjutan. “Dalam kondisi ini, keberadaan Rencana Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Kabupaten Tanjung Jabung Timur menjadi sangat penting untuk memastikan tata kelola gambut yang selaras antara pemanfaatan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan keberlanjutan kehidupan masyarakat,”kata Ade Candra Koordinator Program KKI Warsi seusai mengikuti Fokus Group Diskusi (FGD) Penyusunan Dokumen Rencana Pengelolaan Eksostem Gambut Tanjabtim 2025-2054 yang berlangsung di Kantor Bupati Tanjabtim, Senin 8 September 2025.
Dikatakan Ade, selama ini, lahan gambut di Tanjabtim telah terbagi ke dalam sejumlah pemanfaatan, seperti untuk perkebunan dan hutan tanaman industri, sebagian kecil dialokasikan untuk hutan lindung, dan perhutanan sosial. Padahal pengelolaan gambut, sejatinya mesti mengacu ke tata kelola gambut yang berkelanjutan, dengan patokan kedalaman gambut dalam mengambil kebijakan.
“Pengelolaan gambut yang sudah berjalan selama ini, menjadikan gambut rentan terhadap kerusakan, termasuk kebakaran yang berulang setiap musim kemarau. Karena itu, diperlukan penyesuaian kembali pemanfaatan lahan gambut agar fungsi lindung dan fungsi budidaya bisa berjalan beriringan,”kata Ade.
Terkait dengan itu, KKI Warsi menyambut baik, adanya penyusunan dokumen RPPEG Kabupaten Tanjabtim. “Ini akan menjadi langkah strategis untuk menindaklanjuti RPPEG Provinsi Jambi. Dokumen ini akan menjadi acuan penting dalam memastikan pembangunan infrastruktur, dapat berjalan tanpa mengorbankan fungsi ekosistem gambut. Dengan demikian, keberlanjutan pengelolaan gambut akan memberikan manfaat ganda: menjaga ekologi sekaligus mendukung ekonomi masyarakat,” kata Ade.
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Tanjabtim telah memasuki tahap penyusunan RPPEG dan membuka ruang partisipasi publik melalui pelibatan berbagai pemangku kepentingan. Menurut Ade, penyusunan RPPEG sangat mendesak agar fungsi kawasan gambut bisa segera ditetapkan secara jelas.
“Zona lindung untuk gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter harus dipastikan keberadaannya, sementara pemanfaatan pada gambut dengan kedalaman kurang dari 3 meter perlu diatur dengan ketat. RPPEG juga penting untuk menyiapkan strategi antisipasi terhadap kawasan yang sudah terlanjur dimanfaatkan, sehingga kerusakan tidak semakin meluas,” jelas Ade.
Pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa kerusakan gambut, baik akibat pembukaan lahan maupun kebakaran, memberikan dampak serius bagi lingkungan dan masyarakat. Asap dari kebakaran gambut tidak hanya merugikan kesehatan warga, tetapi juga memperburuk krisis iklim. Dengan RPPEG, langkah mitigasi dan perlindungan bisa lebih sistematis, mulai dari perencanaan tata ruang, pengendalian pemanfaatan lahan, hingga pengawasan di lapangan.
RPPEG yang saat ini tengah disusun Pemerintah Tanjung Jabung Timur melalui program Integrated Management Peatland Indonesia (IMPLI) diharapkan segera rampung. Proses ini diawali dengan pencocokan dan sinkronisasi data, sehingga dokumen RPPEG nantinya benar-benar menjadi panduan bersama dalam memastikan pembangunan berjalan tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem gambut. Dengan tata kelola yang baik, gambut Tanjabtim bukan hanya terlindungi dari kerusakan, tetapi juga mampu menjadi sumber kehidupan yang menopang kesejahteraan masyarakat kini dan di masa depan.