Hutan adat bukan hanya ruang hidup masyarakat adat, tetapi juga benteng terakhir dalam melawan krisis iklim global. Bagi masyarakat adat di Sarolangun, hutan adat adalah sumber kehidupan yang diwariskan turun-temurun. Hutan menjadi tempat mereka mencari pangan, obat-obatan, kayu untuk kebutuhan rumah tangga, serta sarana adat. Lebih jauh, hutan adat adalah ruang budaya, tempat nilai dan tradisi dijaga serta diwariskan kepada generasi berikutnya.

Selain itu, hutan berfungsi sebagai perlindungan spesies flora dan fauna. Sejumlah jenis kayu penting yang masuk daftar perlindungan IUCN tumbuh di kawasan ini, antara lain medang tunjang, damar hitam, damar putih, kasai gunung, sapek, kayu citos, meranti, bengkirai, kampat, hingga keruing. Juga terdapat kekayaan fauna yang sebagian terancam punah. Kekayaan ini menjadikan hutan adat berfungsi vital dalam menjaga ekologi dan jasa lingkungan dalam menjaga kelangsungan hidup masyarakat sekitarnya.

Lebih jauh, hutan adat juga merupakan bagian dari identitas dan kebudayaan masyarakat adat. Menjaga hutan sesuai hukum adat adalah budaya yang diwariskan turun-temurun. Oleh karena itu, kerusakan atau hilangnya hutan adat berarti hilangnya bagian dari budaya masyarakat hukum adat itu sendiri.

Sayangnya, hutan kini menghadapi ancaman serius, mulai dari penambangan ilegal di dalam kawasan hutan hingga upaya pihak-pihak tertentu yang ingin mengalihfungsikannya. Masyarakat adat terus berupaya melindungi hutan dengan berpegang pada nilai-nilai adat. Dari 20 hutan adat yang telah lahir, baru 11 yang mendapatkan pengakuan resmi melalui Surat Keputusan Menteri LHK. Masih ada 9 hutan adat yang menunggu proses verifikasi teknis dari Kementerian Kehutanan. Kesembilan hutan adat tersebut berada di empat wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA), yaitu MHA Marga Datuk Nan Tigo, MHA Marga Batang Asai, MHA Marga Sungai Pinang, dan MHA Bathin Jo Penghulu Marga Bukit Bulan. Dari jumlah itu, enam calon hutan adat berada di wilayah MHA Bathin Jo Penghulu Marga Bukit Bulan.

Upaya pengakuan dan perlindungan hutan ini terus diupayakan. Terkait dengan itu KKI Warsi bersama Pemkab Sarolangun menggelar Workshop Penguatan Kelembagaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Persiapan Verifikasi Teknis yang digelar di Aula Kantor Bupati Sarolangun, Rabu (24/9). Bupati Sarolangun yang hadir dalam kesempatan ini, menegaskan pentingnya pengakuan hutan adat sebagai upaya melindungi hak-hak masyarakat adat sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupan. “Mari kita pastikan proses ini tidak berhenti diatas kertas tapi implementasi dilapangan. Sehingga pengakuan ini manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat adat,” kata Bupati M Hurmin.

Dalam kegiatan yang dihadiri oleh Organisasi Perangkat Daerah, pemerintah desa  dan tokoh adat  Sarolangun ini,  Bupati menghimbau seluruh pemerintah dari mulai desa, kecamatan hingga kabupaten untuk mendukung kesejateraan masyarakat melalui program-program pemerintah masing-masing OPD.

Melihat pentingnya peran adat dalam perlindungan hutan, Sarolangun telah memiliki Peraturan Daerah No 3 tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA. Perda ini merupakan terobosan baru dalam percepatan pengakuan MHA di Provinsi Jambi. Dengan adanya perda ini, pengakuan MHA menjadi lebih terkelola, dan sekaligus syarat mutlak pengusulan dan pengajukan Hutan Adat. “Perda ini  merupakan perda inisiatif DPRD, proses pengakuan empat MHA ini menjadi contoh pengakuan untuk MHA lainnya yang ada di Kabupaten Sarolangun. Dalam waktu dekat kita mengusahakan untuk MHA Bathin Pengambang  di Kecamatan Batang Asai, “ kata PJ Sekda Kab Sarolangun, Dedi Hendry yang juga hadir pada acara ini.

Sebelumnya dari Perda ini telah diakui 4 MHA oleh Bupati Sarolangun. Pada kesempatan ini Bupati langsung menyerahkan empat SK MHA, yaitu  MHA kepada MHA Bathin Jo Panghulu Bukit Bulan, MHA Marga Datuk Nan Tigo, MHA Marga Batang Asai, dan MHA Marga Sungai Pinang.

  1. Safar Ketua Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA) Telun Sakti Desa Raden Anom, Batang Asai menyambut baik pengesahan MHA ini. “Hutan kami ini sudah ada sebelum kami lahir dan sudah ada keputusan ninik mamak sebelum kami. Kita sudah menyerahkan pengajuan usulan SK Kementerian, kami harap dengan telah disahkannya MHA dan memasuki verifikasi teknis, usulah hutan adat kami segera disahkan, “kata M Safar.

Dikatakannya, selama ini LPHA telun Sakti telah mengelola dan menjaga hutan adat yang menunggu SK Menteri Kehutanan ini. “Kami LPHA selalu patroli untuk melindungi hutan adat kami dan memperhatikan lingkungan hutan adat, kami sangat menjaga hutan adat ini, untuk anak cucu kami,”kata Safar.

Menjaga Hutan Adat, Menjaga Iklim

Selain fungsi sosial dan budaya, hutan adat memiliki peran ekologi yang sangat penting. Hutan adat menjaga ketersediaan sumber mata air, melindungi keanekaragaman hayati, sekaligus menyerap karbon dalam jumlah besar. Dengan demikian, keberadaannya menjadi bagian dari solusi global dalam menghadapi krisis iklim.

“Ketika hutan adat hilang, bukan hanya masyarakat adat yang kehilangan ruang hidup, tetapi juga dunia kehilangan salah satu benteng untuk menahan laju perubahan iklim,” tegas Adi Junedi Direktur KKI Warsi.

Dikatakan Adi berdasarkan pengalaman selama melakukan pendampingan, masyarakat adat di Sarolangun memiliki sistem pengelolaan hutan yang arif dan ketat. Di wilayah MHA Marga Bathin Jo Penghulu Marga Bukit Bulan, terdapat tiga jenis hutan adat, yaitu: Imbo Larangan, kawasan  hutan yang sama sekali tidak boleh diambil hasilnya agar fungsi sumber air tetap terjaga, juga ada Imbo Pseko, hutan pusaka yang dapat dimanfaatkan terbatas sesuai aturan adat, serta Imbo Lembago, hutan lembaga yang juga hanya bisa dimanfaatkan terbatas dengan ketentuan hukum adat. Contohnya, Imbo Pseko dan Imbo Lembago terdapat di Desa Napal Melintang, sementara Imbo Larangan berada di Desa Meribung.

“Aturan adat ini terbukti mampu menjaga keseimbangan ekologi selama ratusan tahun,” kata Adi.

Krisis iklim kini menjadi tantangan nyata yang dirasakan seluruh dunia. Banjir, longsor, kekeringan, hingga suhu ekstrem semakin sering terjadi. Dalam konteks ini, menjaga hutan adat berarti menjaga keseimbangan iklim. Hutan adat menyimpan karbon, mengatur tata air, serta menyediakan udara bersih yang manfaatnya tidak hanya dirasakan masyarakat adat, tetapi juga seluruh umat manusia.

Workshop ini juga menyiapkan langkah teknis verifikasi dari Direktorat PKTHA Kementrian Kehutanan yang direncanakan berlangsung Oktober mendatang, termasuk pembentukan tim terpadu dan persiapan lapangan. Kementrian Kehutanan direncakanan akan melakukan verifikasi teknis di sembilan hutan adat yang berada di empat MHA yang telah di SK-kan oleh Bupati Sarolangun.

“Menjaga hutan adat berarti menjaga kehidupan. Hari ini kita bicara Sarolangun, tapi sesungguhnya yang kita jaga adalah masa depan bumi,” tutup Direktur KKI Warsi.