Taman Hutan Raya (Tahura) Orang Kayo Hitam di hutan gambut penyangga Taman Nasional Berbak Sembilang kondisinya rusak. Berulang lagi mengalami kebakaran dan diambil kayunya hingga dijadikan kebun oleh pihak-pihak tertentu, menjadikan Tahura ini harus menjadi prioritas untuk dipulihkan.
Tahura Orang Kayo Hitam (OKH) terletak di batas Kabupaten Muara Jambi dan Tanjung Jabung Timur. Tahura mencakup area seluas 18.234 sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 421/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Tahura Sekitar Tanjung. Selanjutnya Tahura ini dikenal dengan mana Tahura Orang Kayo Hitam.
Sebagai kawasan hutan gambut, penyangga Taman Nasional, keberadaan Tahura memegang peranan strategis. Utamanya sebagai pengendali sistem hidrologi di kawasan gambut. Hanya saja, kawasan ini terus menerus mengalami tekanan yang luar biasa. Tercatat sejak kebakaran besar 1997, Tahura ini ikut terbakar, berulang 2007, 2011, 2015 dan 2019. Kebakaran yang terus menerus ini menyebabkan kawasan tahura lebih didominasi lahan kritis dan kritis sekali, tanpa ada tegakan pohon sama sekali.
Persoalan lainnya Tahura juga tidak lepas dari perambahan dan pembukaan kebun oleh oknum-oknum tertentu. Kondisi ini semakin membuat tahura dalam kondisi yang memprihatinkan. Jauh dari tujuan awal untuk pengawetan tanaman asli, pemanfaatan wisata, dan penelitian. Mengacu UU No 5. Th 1990, Tahura merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/ atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan/atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Pengelolaan Tahura sejatinya berada di kabupaten kota dan juga di provinsi bagi kawasan yang berada lintas kabupaten.
Sebagai penyangga Taman Nasional Berbak dan Sembilang, Tahura punya arti penting eksistensi lain kawasan Tahura ialah sebagai penyimpan cadangan karbon, fungsi hidrologi dan penyimpan air, habitat spesies flora penting, habitat penting fauna dilindungi, dan potensi wisata alam.
Memulihkan Tahura dengan cara yang rasional, masih mungkin untuk dilakukan. Kolaborasi antar pihak dengan dukungan para pihak tentu masih bisa dilakukan. Kolaborasi antara masyarakat desa dengan pihak pengelola, bisa dilakukan dengan berpegang pada sama rasa untuk keadilan keseimbangan ekosistem. Salah satu adanya peluang pengelolaan bersama masyarakat melalui Permen LHK Nomor 6 tahun 2016 tentang pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, salah satunya skema Kemitraan konservasi.
Kemitraan konservasi (2019) adalah salah satu kebijakan baru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang bertujuan meredakan sengketa pemanfaatan lahan hutan di kawasan hutan fungsi konservasi. Pemerintah menerbitkan peraturan baru tentang pengelolaan kawasan konservasi untuk mengurangi konflik antara masyarakat desa hutan dengan pengelola konservasi hutan. Peraturan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem-Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018) bertujuan untuk mewadahi kegiatan pemberdayaan dan kerjasama masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi yang kemudian dikenal dengan istilah Kemitraan Konservasi.
Dengan melibatkan masyarakat mengelola hutan dengan mengikuti ketentuan yang berlaku, harapannya masyarakat tetap mendapat keuntungan ekonomi dengan menjaga hutan. Langkah pertama yang bisa dilakukan pendataan kepada masyarakat yang sudah memanfaatkan lahan di dalam kawasan Tahura. Hasil pendataan terhadap pemanfaatan kebun akan dilakukan verifikasi sesuai dengan P.Dirjen No 6 tahun 2018 yang akan diusulkan menjadi skema kemitraan konservasi di kawasan Tahura OKH. Selanjutnya, juga akan diupayakan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan Orang Kayo Hitam dalam rangka peningkatan ekonomi untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan Tahura.
Pihak pengelola UPTD Tahura OKH merencanakan untuk memberikan bantuan masyarakat sekitar kawasan, apabila sudah terbentuk kelompok-kelompok mitra konservasi. Tentu dengan catatan pemanfaatan yang dilakukan sebatas HHBK dan tetap menjaga kelestarian Tahura. Di samping itu, pengelola bersama pihak lain juga akan menambah fasilitas untuk pengaman tahura seperti menara dan kamera pemantau, jalan pengamanan, dan lain sebagainya. Masyarakat sebagai mitra pengelola dilibatkan melalui pembentukan dan peningkatan kapasitas kelompok MPA. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan Tahura OKH, maka masyarakat juga akan peduli terhadap segala aktivitas, termasuk di antaranya antisipasi Karhutla, karena terbangunnya rasa memiliki bersama. (Teguh Al Ikhsan)